Banyak orang sekarang bersekolah hanya untuk cari ijazah. Membayar dengan harga mahal. Meninggalkan keluarga. Membaca buku sampai rambut rontok. "Menjilat pantat" ,para dosen bahkan sampai mau menggadaikan seksualitas. Dan tindakan aneh lain demi mendapat nilai akademik.
Semua itu agar meraih selembar kertas yang bertuliskan gelar akademik. Mau ditingkat apapun, fenomena ini tak bisa dipungkiri.
Ijazah itu dipakai untuk gaya-gaya-an. Beberapa orang yang saya temui berkata bahwa mereka ingin sekolah agar mendapat gelar yang bisa dicantumkan dalam riwayat hidup. Bahkan ada yang berkata bahwa ia ingin saat upacara kematian, riwayat hidup yang dibaca tentang dirinya terdengar hebat karena menyandang gelar tertentu.
Ijazah itu bisa dipakai untuk lanjut sekolah lagi. Untuk bisa menggapai strata pendidikan yang lebih tinggi, perlu ada syarat tahapan pendidikan sebelumnya. Misalnya untuk bisa kuliah, orang perlu mendapat ijazah SD-SMA. Begitu juga supaya bisa lanjut studi ke pascasarjana, perlu ada ijazah sarjana.
Ijazah sebagai syarat untuk mencari pekerjaan. Sudah jadi rahasia umum, kalau ingin mendapat pekerjaan yang memiliki penghasilan besar, orang perlu untuk mendapatkan ijazah yang mentereng. Makin tinggi tingkat pendidikannya, makin bagus gajinya.
Walaupun perlu juga diakui, sekarang banyak perusahaan yang menekankan kemampuan dibanding ijazah, tapi tak bis dipungkiri bahwa ijazah SMA akan membuat orang sulit untuk mendapat pekerjaan yang layak. Ujung-ujungnya jadi buruh.
Ijazah untuk kenaikan jabatan. Contoh yang paling jelas seperti dalam dunia Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seseorang tidak akan mendapat jenjang karir yang tinggi kalau hanya bermodalkan ijazah S1 atau yang tingkatnya lebih rendah. Untuk mencapai eselon tinggi, perlu minimal ijazah S2.
Lebih jelas juga dosen, untuk bisa bekerja sebagai dosen, minimal harus bergelar S2. Sepintar apapun seseorang, kalau hanya bergelar S1 atau lebih rendah, akan sangat sulit untuk mendapat pekerjaan itu.
Sudah ada wacana dan mungkin peraturan yang membolehkan orang yang telah berpengalaman di suatu bidang, walaupun tidak bergelar Magister atau Doktor, bisa jadi dosen. Tapi pada realitasnya, kasus khusus seperti itu sangat jarang ditemui.
Dan sederet alasan lainnya yang mengatakan bahwa Ijazah itu penting.
Itu sah-sah saja sebenarnya.
Semua alasan berderetan itu jadi tidak elok karena sekolah sejatinya diadakan untuk orang yg ingin belajar. Sebab tidak bisa dipikirkan hal lain lagi, terkait fungsi asali dari sekolah. Dari maksud awal pendirian, sampai pada pelaksanaannya, sekolah memang diadakan untuk tempat belajar.
Segala fasilitas diadakan untuk jadi sarana belajar. Guru dan Dosen hadir di sekolah untuk belajar dan mengajar. Memang maksud utama sekolah adalah untuk jadi tempat belajar.
Tapi kenyataannya sebagian besar orang masuk sekolah bukan untuk belajar tapi untuk mendapatkan ijazah. Maka dalam hemat saya, seharusnya ijazah tidak boleh dijadikan syarat untuk hal lain selain belajar sesuatu.
Ijazah memang tanda orang pernah sekolah, tapi belum tentu tanda orang belajar. Karena banyak sekali orang yang rela membeli ijazah, dan kalaupun mengikuti pelajaran di sekolah, tidak menjalaninya dengan serius, hanya sekedar saja.
Yang perlu dijadikan syarat untuk bekerja misalnya, bukanlah ijazah tapi kemampuan. Karena sesungguhnya banyak sekolah yang hanya sekedar memberi ijazah tapi tidak memberi ilmu. Proses pendidikan berjalan begitu saja, tanpa ada inovasi untuk menjadikan pendidikan bisa berkembang ke arah lebih baik. Lagipula yang dibutuhkan oleh lahan pekerjaan, itu bukan ijazah tapi kemampuan yang dimiliki. Â
Penekanan pada kemampuan, alih-alih ijazah sudah diterapkan oleh beberapa perusahan besar. Mereka mulai merasa bahwa sekolah tidak berguna lagi, karena tidak menyediakan lulusan dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh lahan kerja. Sama seperti yg diberlakukan oleh Google misalnya.
Supaya yang tinggal bersekolah itu hanya orang-orang yang ingin belajar. Mereka yang serius ingin mendapat ilmu dan kemampuan tertentu.
Ah, betapa indahnya sekolah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H