Mohon tunggu...
Yan Okhtavianus Kalampung
Yan Okhtavianus Kalampung Mohon Tunggu... Penulis - Narablog, Akademisi, Peneliti.

Di sini saya menuangkan berbagai pikiran mengenai proses menulis akademik, diskusi berbagai buku serta cerita mengenai film dan lokasi menarik bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Orang Kristen Merayakan Takjil Ramadan di Tengah covid-19

28 April 2020   21:34 Diperbarui: 28 April 2020   21:36 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Penjual Takjil di Kota Bitung--dokpri

Ramadhan adalah waktu yang menyenangkan bagi saya walaupun saya beragama Kristen. Alasan yang paling utama untuk itu adalah karena takjil yang enak dan murah bisa dengan mudah kudapatkan. Takjil adalah istilah yang dipakai untuk menyebut berbagai kue, makanan dan minuman segar yang memang disediakan untuk orang yang akan berbuka puasa. Fakta bahwa saya yang tidak berbuka puasa pun bisa menikmati, mungkin ini hal yang sepele tapi bagi saya yang hidup di Indonesia, hal ini tidak bisa dianggap remeh.

Takjil selain tentu memiliki ranah spiritual karena memang diadakan dalam bulan suci Ramadhan tapi jelas didasari oleh pertimbangan ekonomis. Orang bisa berpikir kalau dalam ranah ekonomi, agama tidak penting, tapi bisa juga sebaliknya. Ranah ekonomi ini bisa menjadi titik awal perjumpaan agama-agama. Dalam pengertian ini Takjil adalah ruang publik. Ia adalah ruang ketiga dimana orang-orang terpisah karena faktor politik identitas yang mencabik-cabik persatuan bangsa yang majemuk ini.

Takjil dalam perayaan Ramadhan tahun punya suasana yang berbeda. Karena memang dalam ruang publik, sempat terjadi kontroversi karena menentang penjarakan fisik yang diupayakan oleh Pemerintah untuk menangkal covid-19. Di kota Bitung tempat saya berasal, tepatnya pada hari pertama dibukanya Ramadhan, para penjual Takjil masih berjualan di satu tenda besar di tengah pusat perbelanjaan. 

Kondisi ini menimbulkan respon dalam masyarakat yang berdiskusi dalam Grup Facebook "Berita Bitung". Mengiyakan protes beberapa masyarakat yang melihat model berjualan yang rawan penjangkitan virus corona, maka tenda tersebut kemudian dibongkar. Tapi walaupun tenda dibongkar, para penjual kemudian menyebar ke sudut-sudut pusat kota agar penjarakan fisik bisa terpenuhi.

Dengan demikian, walaupun di tengah ancaman covid-19, takjil tetap memiliki magnet, terbukti dengan orang-orang yang tetap ramai mengunjungi tempat berjualan takjil tersebut. Ini memang beresiko, sebagaimana perjumpaan pada hakikatnya beresiko. Tapi fakta kalau saya yang beragama Kristen tetap dilayani dengan baik oleh para penjual muslim yang berhijab, itu tanda bahwa takjil itu ruang perjumpaan yang hangat. 

Para penjual tidak akan bertanya, beragama apakah orang yang membeli. Hal ini saya kira tetap perlu diapresiasi, walaupun dengan kewaspadaan karena wabah ini. Saya pribadi cukup bersukacita dengan perjumpaan ini. Sebab tak bisa dipungkiri, perjumpaan semacam ini makin kurang terjadi.

Sebagai orang yang hidup di daerah Sulawesi Utara dengan semboyan "Torang Samua Basudara", saya menyadari bahwa perjumpaan lintas agama makin kurang terjadi. Dalam pengalaman saya, hari raya Lebaran dan Natal dirayakan oleh masyarakat Muslim dan Kristen. 

Terbukti dengan kebiasaan untuk berkunjung dan menikmati santapan yang disediakan oleh rekan yang sementara merayakan hari rayanya. Sekarang hal seperti ini makin kurang terjadi. Saya juga melihat kalau orang-orang yang beragama ini tidak menganjurkan sesama umatnya untuk mengunjungi saudara mereka yang beragama lain. Ini sangat disayangkan.

ragam kue yang bisa dinikmati--dokpri
ragam kue yang bisa dinikmati--dokpri

Perjumpaan yang hangat dan bersahabat yang dimulai dari takjil yang bermotivasi ekonomis perlu dikembangkan lagi. Misalnya perlu diperbanyak sekarang, orang Kristen melalui organisasi Gereja yang juga menjual takjil kepada teman muslim yang akan berbuka puasa. Sekrang sudah ada orang Kristen yang menjual takjil di depan rumahnya. Ini membuktikan sudah ada bibit persaudaraan yang bisa dikembangkan lebih lagi. Semoga hal-hal baik seperti ini bisa terus berkembang di waktu mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun