Mohon tunggu...
Nurul Yamsy
Nurul Yamsy Mohon Tunggu... Penulis - .

Jika ucap tak lagi mampu berkata, biarlah kata yang mengungkap

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sehelai Kerudung Merah di Hari Ibu

21 Desember 2020   22:19 Diperbarui: 21 Desember 2020   22:23 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pinterest.com/rarsadi

Ini bukan sebuah narasi tentang kisah yang menceritakan seberapa sering ia mengucapkan kalimat "Selamat hari ibu" kepada ibunya. Bukan pula sebuah cerita yang berkisah tentang hadiah apa yang akan ia berikan di peringatan hari ibu tahun ini. 

Tak ada yang special. Setiap tahunnya selalu sama. Biasa saja. Meski tanggal 22 di bulan Desember selalu ia lewati. Tidak ada kado, tidak ada hadiah, ucapanpun tidak terlontar dari mulutnya. 

Entahlah. Nyatanya peringatan ulang tahunpun juga tak ada yang special bagi keluarganya. Semua sama seperti hari-hari biasa.

Mulai dari sekolah dasar, ia dikelilingi teman yang selalu antusias dengan hari-hari peringatan, seperti hari ini. Hari ibu. Beberapa temannya selalu antusias untuk menyiapkan sebuah hadiah, kado, ataupun kartu ucapan untuk diberikan kepada ibunya. Tapi sedikitpun, ia tak mencoba meniru teman-temannya. 

Hanya sekedar mengucapkanpun tidak ia lakukan. Mungkin gengsinya terlalu tinggi hanya untuk sebuah ucapan, atau mungkin memang tidak terbiasa melakukannya di setiap tahun.

Sampai saat usianya kini tak lagi kanak-kanak. Hatinya sempat bermonolog "masak iya aku ga pernah ngasih sesuatu sama ibuk". Hal ini adalah pengalaman yang entah mungkin akan menjadi pengalaman pertama kali atau bahkan terakhir kalinya. Ia putuskan akan memberikan sebuah hadiah untuk ibunya, di peringatan hari ibu.

Sore itu, ia mengajak sepupunya ke toko pakaian muslimah cukup dekat dari rumahnya. Remaja seusianya yang belum memiliki pekerjaan hanya mampu membelikan ibunya sebuah kerudung. 

Ia pilih kerudung warna merah marun. Ingin terlihat special, ia membelikan tas kado kecil berwarna biru muda dengan hiasan pita kecil di depannya. Ia masukkan kerudung merah marun itu ke dalam tas kado kecil tersebut. Jangan tanyakan tentang perasaannya kala itu. 

Deg-degan. Grogi. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, seperti ia akan menghadapi sesuatu yang sangat penting. Padahal ia hanya akan memberikan hadiah itu kepada ibunya. Bahkan ia tak sempat memberi kartu ucapan untuk ibunya saking groginya.

Sesampainya di rumah, ia hampiri ibunya yang saat itu berada di kamarnya. Ia serahkan bingkisan berisi kerudung itu kepada ibunya. "Ini buk, tak kasih hadiah. Kan sekarang hari ibu". 

Gak romantic. Memang. Hahaha. "Terima kasih", jawab ibunya dengan senyum. Sudah. Itu saja peringatan hari ibu dengan acara pemberian hadiah kerudung merah marun itu. Biasa saja memang.

Beberapa hari kemudian, ia dan ibunya sedang bersantai sambil menlihat acara di TV. Tiba-tiba ibunya bicara padanya, "Wes sekarang ndak usah numbasno ibuk barang-barang". Deg. Baru pertama kali membelikan barang untuk ibunya, tapi ternyata respon lain yang ia dapat dari ibunya. 

Tapi ia tetap diam, tak menanggapi perkataan ibunya. Apa lagi ini. Ia baru pertama kali memberikan suatu barang pada ibunya. Tapi ibunya malah melarang, agar tak lagi memberikan barang-barang. Perkataan itu seolah meruntuhkan semangatnya untuk memberikan hadiah lagi di tahun selanjutnya. 

Lalu, tiba-tiba saja ibunya melanjutkan pembicaraannya. "Cukup jadi anak yang sholih dan sholihah, jangan tinggalkan sholat lima waktu". Sudah. 

Hanya satu kalimat itu saja yang diucapkan ibunya, dan itu lagi-lagi membuatnya tak mampu berucap. Ia tak tahu harus menanggapi dengan kalimat yang seperti apa. Tahun berikutnya pun kembali seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada lagi hadiah

Anak yang sholih dan sholihah. Tentu harapan semua orang tua bukan. Tapi ia tak pernah berpikir bahwa ibunya akan melontarkan harapan itu di depannya. 

Permintaan yang sering diucap dalam do'a-do'a orang tua untuk anaknya. Ia paham. Tapi entah mengapa, permintaan itu selalu menari-nari di dalam pikirannya. Lama. Karena ia pikir, ibunya akan meminta hal lain untuk hadiah peringatan hari ibu. Nyatanya, ada sesuatu yang lebih berharga dari kerudung merah marun yang ibunya harapkan.

Sekitar dua tahun kemudian, harapan sederhana ibunya yang ternyata tak sederhana itu baru ia sadari. Sesuatu yang ibunya harapkan adalah hal paling berharga untuk hidupnya di dunia dan akhirat. 

Dan adalah harta paling mahal yang ibunya butuhkan untuk menuju syurgaNya. Bagaimana tidak, seseorang yang telah usai tugasnya di dunia, seluruh urusannya terputus kecuali tiga hal. Pertama yaitu sedekah jariyahnya, yang ke dua yaitu ilmu yang bermanfaat, yang ke tiga yaitu do'a anak yang sholih.

Malam itu ia lihat sang ibu semakin lama semakin menurun kesehatannya. Nafasnya mulai melemah seiring waktu yang terus berjalan, tak berniat melambatkan jalannya detik jam ataupun mempercepatnya. Ia genggam tangan sang ibu yang mulai terasa dingin. Ia pandangi wajah yang tetap meneduhkan itu, yang berpesan untuk menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah. 

Yang berpesan untuk jangan melupakan sholat lima waktu. Dan malam itu sang ibu berpulang menuju Illahi. Dengan segenap pesan sederhana , namun tak sesederhana maknanya.

Kerudung merah marun itu, telah menjadi hadiah terakhir yang mampu ia beri untuk ibunya dengan segala kisah di dalamnya. Siapa yang mampu mengira, kerudung merah marun itu menjadi awal sekaligus akhir kisahnya di hari ibu. Terima kasih ibu. Syurga selalu terbuka untukmu.

Di malam menjelang hari ibu.
Selamat Hari Ibu, Buk..

_ny_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun