Mohon tunggu...
Muhamad Yusuf Al Ghazali
Muhamad Yusuf Al Ghazali Mohon Tunggu... -

Hanya ingin mengeluarkan product dari cerewetnya kepala. Jika kalian sering kalah akan cerewetnya kepala, solusinya hanya satu ketahuilah kecerewatan kepala dari tubuh lain. (YAG)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mitologi 5 Jari Terhadap Hak Asasi Manusia

4 Oktober 2017   00:57 Diperbarui: 4 Oktober 2017   18:39 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memahami sebuah kata atau frasa tidak perlu dilakukan dengan kepala tegang, hanya dibutuhkan jiwa tenang yang mudah paham. Teoritis itu manis, realistis terhadap makna itu bisa dibilang fantastis. Terkadang teoritis malah membingungkan, karena terlalu banyak gang-gang sempit yang harus dilalui untuk menuju pemahaman, realita maknalah dengan retorika sederhana menjadi solusi yang baik untuk kembali mencari makna yang tersesat. Prolog ini adalah singgungan pemaknaan HAM oleh manusia. Seharusnya dalam memaknai sesuatu, bukankah pemahaman yang benar sebagai titik tujuannya, bukan mengenai "cara pencarian makna".

Hak asasi manusia (HAM), sudah terdengar tidak asing lagi ditelinga kita. Bahkan untuk membahasnya mampu menyita waktu yang cukup banyak dan membuat seseorang berbicara panjang lebar, disertai efek mengerti bagi lawan bicara atau mungkin tambah "MUMET". Pusing. Memang hak asasi manusia tersebut dibuat oleh para manusia sendiri, sebagai benteng pelindung mereka. Mengingat pada era moderenisasi seperti sekarang ini banyak celah untuk melanggar hak asasi manusia, maka dari itu banyak sekali elemen-elemen masyarakat yang sangat menjujung tinggi hak asasi ini, bahkan bisa dibilang pembela "HAM" garis keras, atau mungkin terlalu keras.

Sebenarnya, secara sederhana hak asasi manusia itu lahir akibat adanya ketidak samaan dan ketidak merataan hak yang diperoleh manusia bukan? mungkin kalimat sederhana untuk menggambarkannya seperti itu. Hak tersebut memiliki makna sebuah kebebasaan dalam memilih dan memiliki kebahagian serta ketenteraman hidup. Namun makna yang sederhana tersebut terkadang diarahkan kepada lorong yang jauh nan gelap dimana tujuannya tidak jelas dan "NGAWUR". Banyak sekali orang yang faham luar kepala tentang hakekat HAM, malah tidak mampu memaknai ham secara bijaksana. Pemahaman HAM yang dibawa zaman moderernitas menjadi pengaruh salah kaprahnya definisi HAM, tujuan HAM, dan penerapan HAM.

Istilah hak asasi manusia sangatlah populer di era moderen. Berbagai bidang kehidupan dan aktivitas didalamnya selalu dikaitkan dengan permasalahan penegakan hak-hak yang dimiliki manusia yang tidak tahu juntrungannya. Bukankah hal ini malah sebagai salah satu pemicu untuk membuat manusia menjadi hanya menuntut hak-haknya tanpa memenuhi kewajibannya? Sebagai salah satu contohnya kewajiban seorang makhluk yaitu menjadi kholifah bagi bumi,  mereka tidak hanya ingat ketika menikmati bumi dan seisinya saja namun juga harus merawat dan menjaganya kan?

Seperti pada kodratnya manusia adalah makhluk atau bisa dibilang spesies tercerdas di bumi, namun anehnya dalam memaknai HAM dan menyikapinya cenderung membabi buta, buta akan haknya lupa akan kewajiban. Memang kalau dicermati, hak manusia itu memang direbut, tapi bukan hewan yang merebutnya! bukan tumbuhan pula yang merebutnya! namun manusia itu sendiri yang saling berebut untuk memiliki kebahagian dan kepuasaan pribadi karena kebutuhan di era moderenitas ini. Nilai materiel yang sifatnya pribadi yang kental serta dibungkus dengan nafsu yang memiliki kadar yang tepat, membuat manusia itu sendiri tak segan-segan merebut nilai materiel manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya di era moderen meskipun dalam tanda kutip manusia menyebutnya hak mereka. Jika sudah seperti itu, apalagi nilai materiel yang dimiliki tumbuhan dan hewan? Mau direbut juga?

HAM semakin kesini, semakin tidak tentu arah. Pemahaman hak asasi makhluk tercerdas dan maha sempurna yang dimilik Tuhan ini, semakin disalah gunakan. Manusia semakin bringas karenanya. Manusia menikam hewan, manusia menikam tumbuhan, dan manusia berani menikam Tuhan barangkali sangking gilanya mereka. Mungkin kalau tumbuhan bisa berbicara ia juga akan mampu membuat hak asasi mereka sendiri, begitu juga dengan hewan. Maka dari itu dibutuhkan pemikiran sederhana untuk menyikapi ini semua, pemikiran yang mampu membuka pemahaman manusia lewat berbagai makna implisit dan eksplisit yang terkandung didalamnya.

Hak asasi manusia zaman sekarang titik puncaknya hanya pada otak manusia, tepat seperti nyatanya otak manusia, ada dipuncak tubuh mereka. Padahal sadar atau sengaja tidak sadar, semaput barangkali? ada kekuatan yang lebih dan mampu mengatur manusia. Tuhan. Sudah sepatutnya peraturan hak asasi manusia dikembalikan kepada maha otaknya kehidupan, jika titik puncaknya hanya pada pemikiran manusia ham akan selalu salah arah.

Inilah pemahaman sederhana atau perspektif bodoh yang menelaah tentang HAM, misalnya seperti halnya mitologi lima jari yang dimainkan manusia saat mereka kanak-kanak. Jika mereka mengadu suit, kelingking selalu kalah dengan telunjuk, ibu jari selalu kalah dengan kelingking, dan telunjuk selalu kalah dengan ibu jari. Bukan karena telunjuk itu manusia, bukan karena kelingking itu semut dan bukan karena ibu jari itu gajah. Namun aturan dari otak terhebat yang mengatur mereka, bukan otak dari ke lima jari tersebut. Tetapi otak yang memiliki ke lima jari tersebut. Maka seharusnya manusia harus seperti lima jari mereka, yang harus mengembalikan aturan yang mengatur hak mereka kepada maha otaknnya kehidupan yaitu Tuhan, agar tidak disalah gunakan lagi. Seperti contoh sederhana dinegara kita mari berpikir, ada pemerkosaan gadis smp, kemudian pelakunya akan dihukum mati atau setidaknya dikebiri, namun aktivis HAM itu sendiri justru tidak setuju dengan keputusan tersebut karena menyalahi HAM, itukan pola pikir manusia bagaimana pemikiran tuhan mengapa kita tidak cari tahu? Oleh karena itu sudah sepatutnya peraturan HAM harus dikembalikan kepada pola pikir tertinggi dikehidupan ini, seperti 5 jari yang menyerahkan nasibnya kepada manusia. Seharusnya hak manusia diserahkan kepada pembuat atau pencipta mereka. HAM harus berdasarkan pola pikir yang telah diciptakan TUHAN lewat firman dan utusannya yaitu para nabi.

Manusia pada peradaban moderen memang memerlukan panutan dan pegangan, untuk menyikapi hak asasi mereka secara bijaksana. Ketika semua manusia memiliki panutan dan pegangan tidak akan ada lagi lorong yang gelap dalam memaknai hak asasi mereka, karena mereka akan paham betul bagaimana perbedaan hak dan kewajiban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun