Pagi buta, semangkuk kolak pisang dan segelas air putih telah mengawali sarapan. Sembil menggenggam HP, membaca e-paper Kompas dan bisnis Indonesia edisi hari ini.
Mata saya tertuju pada dua headline. Dipecatnya STY dari pelatih timnas dan utang pemerintah yang terkerek.
Soal STY, saya tak ambil pusing. Namanya juga sepak bola. Ada politik di situ, judi sekaligus industri. Jangankan Indonesia, sepak bola Eropa saja ada judinya.
Sepak bola adalah industri. Di belakangnya ada modal dan cuan. Tak perlu baper. Pelatih yang datang dan pergi sekejap itu hal biasa. Di Eropa pelatihnya datang lohor,, dipecat saat beduk magrib itu hal lumrah
Saya alihkan fokus ke pemerintah yang akan melakukan pembiayaan utang APBN 2025 sebesar Rp 775,87 triliun. Dibandikan dengan 2024, maka pembiayaan utang meningkat 16,71%.
Dari pembiayaan utang diatas, proporsi SBN sebesar Rp 642,50 triliun sementara pinjaman Rp 133,31 triliun. Kelak sebagian besar utang obligasi ini akan dipegang perbankan dan BI
Secara struktur kepemilikan sih boleh dikata prudent. Karena proporsi terbesarnya oleh domestic holder. Namun tetap saja ada risiko yang mengintai
Sekarang, SBN itu bukan saja sebagai instrumen pembiayaan fiskal semata. Tapi sekaligus sebagai instrumen moneter. Sebagai driven factor kurs. Dual function
Coba lihat, keluar masuknya investor dipasar SBN, berdampak terhadap kurs. Sentimen terhadap imbal hasil (yield SBN), juga ikut berdampak terhadap pasar uang domestik dan kurs
Pasal inilah yang membuat BI cenderung mengambil langkah menyerap SBN. Ini juga terkait mandat utama BI, menjaga stabilitas nilai tukar terhadap foreign currency, khususnya US$.