Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Desa Tematik, Terobosan Menteri Desa Yandri Susanto

3 Januari 2025   11:31 Diperbarui: 3 Januari 2025   13:11 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa tematik adalah pembangunan desa yang sejalan dengan core business desa. Coraknya bisa bermacam-macam. Mulai dari desa tematik budaya, agrobisnis, pariwisata, dan perikanan. Dari satu layer ekonomi, ternyata dapat menggairahkan elemen ekonomi lainnya yang menghidupkan perekonomian desa.

Masing-masing pembangunan tematik ini, dalam rangka membangun suatu ekosistem perekonomian desa. Desa tematik budaya misalnya, bisa merangkai pewarisan nilai-nilai budaya,  menggairahkan rantai nilai dalam corak ekonomi budaya seperti produk kreatif, seni dan kuliner.

Dalam ceruk ekonomi budaya ini, mampu mengintegrasikan potensi lokal menjadi suatu sumber daya ekonomi yang mumpuni. Desa tematik budaya ini juga dapat menggairahkan sektor jasa, karena market value yang linkage dengannya adalah tempat-tempat yang menyuguhkan situs-situs heritage dan mendorong mobilisasi manusia keluar masuk desa. Desa desa adalah basis kebudayaan otentik.

Success story

Desa Penglipuran di Bali, misalnya, dengan rumah tradisional khas Bali, festival adat, dan seni tari, mampu menarik sekitar 30.000 wisatawan per bulan dan menghasilkan pendapatan sekitar Rp 900 juta. Desa Sade di Lombok, dengan rumah adat suku Sasak, demonstrasi tenun tradisional, dan ritual adat Nyongkolan, meraup sekitar Rp 100 juta per bulan dari 5.000 pengunjung.

Di Nusa Tenggara Timur, Desa Wae Rebo, yang dikenal dengan rumah adat berbentuk kerucut (Mbaru Niang), juga menawarkan pengalaman tinggal bersama masyarakat lokal, menghasilkan pemasukan sekitar Rp 130 juta dari wisatawan yang menginap.

Desa Nglanggeran di Yogyakarta, yang memadukan atraksi seni lokal, cerita legenda Gunung Api Purba, dan kuliner khas, memperoleh pendapatan sekitar Rp 300 juta dari 20.000 pengunjung per bulan.

Sementara itu, Desa Baduy di Banten, dengan kehidupan masyarakat Baduy Dalam dan Luar serta kerajinan tradisionalnya, mencatat pemasukan Rp 150 juta per bulan dari wisatawan yang tertarik akan keunikan budaya dan kearifan lokal mereka.

Desa tematik perikanan misalnya, di Desa Bangsring di Banyuwangi, Jawa Timur, terkenal dengan konservasi terumbu karang, snorkeling, dan edukasi lingkungan, menghasilkan sekitar Rp 750 juta per bulan dari sekitar 10.000 pengunjung.

Di Desa Nelayan Bintan, Kepulauan Riau, wisatawan dapat merasakan kehidupan nelayan tradisional, memancing di laut, dan menikmati hasil tangkapan segar, dengan pemasukan desa mencapai Rp 250 juta per bulan.

Desa Ambong di Sulawesi Utara menawarkan wisata budidaya ikan air tawar dan edukasi pengolahan produk perikanan, menghasilkan Rp 50 juta per bulan dari wisatawan dan penjualan ikan.

Sementara itu, Desa Awarange di Sulawesi Selatan mengandalkan tambak bandeng dan udang, serta produk olahan seperti bandeng presto, dengan pemasukan mencapai Rp 72,5 juta per bulan.

Di Desa Sekotong, Lombok Barat, wisatawan dapat menikmati snorkeling, mengunjungi tambak mutiara, dan mengikuti workshop pengolahan ikan, memberikan pendapatan sekitar Rp 70 juta per bulan.

Demikian pula pembangunan desa tematik pertanian. Ternyata mampu menggairahkan perekonomian desa selain memproduksi hasil pertanian, juga memiliki dampak turunan ke beberapa sektor ekonomi. Seperti yang terjadi di Desa Bejiharjo di Yogyakarta menawarkan agrowisata kebun salak, di mana pengunjung dapat memanen salak dan belajar mengolahnya menjadi produk seperti keripik dan sirup, menghasilkan sekitar Rp 130 juta per bulan dari 5.000 pengunjung.

Di Desa Cikole, Lembang, Jawa Barat, wisata kebun stroberi menarik 6.000 wisatawan per bulan dengan kegiatan memetik stroberi langsung, edukasi hidroponik, dan penjualan produk olahan, mencatat pemasukan sekitar Rp 200 juta per bulan. Desa Gubugklakah di Malang, Jawa Timur memanfaatkan kebun apel sebagai daya tarik utama, dengan pengalaman memetik apel, pengolahan menjadi produk seperti cuka dan keripik, serta wisata desa, menghasilkan Rp 160 juta per bulan dari 4.000 pengunjung.

Desa Tegalarum di Kulon Progo, Yogyakarta, fokus pada wisata kopi robusta, memungkinkan wisatawan memetik, menyangrai, dan menyeduh kopi, sekaligus membeli produk kopi khas desa, dengan pendapatan sekitar Rp 80 juta per bulan dari 2.500 pengunjung.

Sementara itu, Desa Jatiluwih di Bali, yang terkenal dengan keindahan sawah terasering dan sistem irigasi Subak, menarik hingga 10.000 wisatawan per bulan. Dengan tiket masuk dan penjualan produk tani seperti beras organik, desa ini mencatat pemasukan sekitar Rp 450 juta per bulan.

Beberapa contoh success story pembangunan desa tematik ini bisa menjadi benchmark bagi pembangunan desa tematik secara nasional ke depan. Atau direplikasi menjadi model pembangunan desa secara nasional. Hal ini pun sejalan dengan gagasan menteri desa Yandri Susanto, yakni mendorong pembangunan tematik desa berbasis ketahanan pangan sebagai salah satu layer ekonominya.

Dalam rilisnya, Mendes Yandri katakan, pentingnya pengembangan desa tematik sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional. Beliau menyatakan bahwa Kementerian sedang menyusun modul untuk berbagai jenis desa tematik, seperti desa padi, desa jagung, dan lainnya, yang disesuaikan dengan potensi masing-masing desa (Sumber : Trito 29/12/2024)

Mendes Tidur di desa belanja masalah desa (Sumber : tribun)
Mendes Tidur di desa belanja masalah desa (Sumber : tribun)
Pernyataan Mendes terkait pembangunan desa tematik berbasis keragaman pangan, sejalan dengan substansi penting swasembada pangan nasional. Diversifikasi pangan adalah langkah strategis untuk mencapai swasembada pangan, dengan menjadikan produksi pangan desa sebagai pilar utama yang mendukung ketahanan pangan nasional.

Dengan memanfaatkan potensi lokal dan mengembangkan berbagai komoditas pangan yang beragam, kita tidak hanya memperkuat ketahanan pangan di tingkat desa, tetapi juga menciptakan keberagaman konsumsi yang sehat dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Desa-desa dengan potensi agraris yang kaya harus menjadi sumber utama produksi pangan yang dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bahkan mendukung ekspor, sehingga mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan untuk masa depan bangsa."

Desa-desa perlu menyusun blueprint pembangunan desa tematik sebagai langkah strategis dalam membangun ekonomi desa yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan core business desa, seperti pertanian, perikanan, atau kerajinan tangan. Blueprint ini akan memberikan arah yang jelas dan terencana untuk mengoptimalkan potensi lokal.

Pendekatan tematik ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tetapi juga memperkuat identitas dan daya saing desa dalam perekonomian nasional, serta mendukung swasembada pangan dan keberlanjutan sumber daya alam** 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun