Pada Raker Komisi V DPR bersama menteri desa pada 7 November 2024, terbersit success story desa yang menarik dari hasil belanja masalah menteri desa. Di desa Kembangbelor-Mojokerto, wisata desanya tumbuh dengan dividen BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang dishare ke warga sebagai equity holders atas berbagai aset wisata desa dalam BUMDes yang dimiliki.
Menariknya, equity dasar BUMDes tersebut bersumber dari crowdfunding atau dana urungan warga sekaligus sebagai shareholders BUMDes. Warga menerima dividen Rp.1 juta-Rp.2 juta dari kepemilikan sahamnya di BUMDes.
Success story dalam belanja masalah Mendes, sekaligus merefleksikan, adanya secondary layer funding dalam membangun BUMDes sesuai core business desa. Tak mesti dari penyertaan APBDes, APBD atau APBN, tapi juga dari sumber lain seperti pooling fund atau crowd funding, CSR (Corporate Social Responsibility) atau PKBL (Kemitraan Bina Lingkungan) dan investasi.
Dus, creative funding ini telah dilakukan di berbagai negara untuk desanya. Seperti Rang De dan Kiva di India. menggunakan model crowdfunding dan pooling fund untuk menyediakan modal bagi petani kecil dan usaha mikro pertanian.
Melalui platform Rang De dan Kiva, pemerintah India mengumpulkan dana dari berbagai investor kecil, baik domestik maupun internasional, dan menyalurkannya ke petani melalui lembaga keuangan mikro. Pendanaan ini membantu petani mendapatkan modal tanpa beban suku bunga tinggi.
Hal yang sama juga dilakukan Kenya dengan M-Shwari dan FarmDrive, dan Cropital di Philipina. Dengan berbagai platform pooling fund, mereka mendukung pembiayaan petani kecil yang sulit mengakses kredit perbankan. Hari ini, India, Philipina adalah negara produsen beras hasil pertanian terbaik.
Lagi-lagi, problem usaha pertanian mikro di desa adalah soal modal untuk seluruh biaya input. Profil desa Kembangbelor dan success story desa wisatanya, menjadi role model yang akan direplikasi Mendes dalam quick win program Ketahanan pangan desa sebagai salah satu misi dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo.
BUMDes Petani Desa
Untuk Indonesia, selama ini kredit yang dialokasikan ke sektor pertanian hanya sekitar 10 persen. Dan kredit untuk petani kecil di pedesaan kurang dari 5 persen dari total kredit perbankan. Kondisi ini menggambarkan akses kredit bagi petani kecil di pedesaan masih minim.
Faktor pembiayaan untuk petani desa, adalah rangkaian dari kompleksitas masalah pertanian desa. Semakin sempitnya lahan pertanian, menurunnya usia produktif yang bekerja sebagai petani akibat tren gigs economy, juga pendapatan sebagai petani yang belum menjanjikan, berdampak kumulatif terhadap produksi pertanian nasional.
Jika input atau biaya produksi pertanian mahal, sementara penghasil dari hasil pertanian cenderung lebih kecil dari kebutuhan yang dikeluarkan, maka pekerja di sektor pertanian semakin menyusut. Problem kronis pertanian desa adalah biaya input pertanian yang mahal.
Sebagai contoh, dari data BPS, dapat dilihat bahwa rasio pendapatan terhadap biaya untuk padi sawah adalah 0,37. Ini menunjukkan; setiap satu rupiah biaya menghasilkan pendapatan sebesar 0,37 rupiah. Sementara Rasio pendapatan terhadap biaya untuk padi ladang adalah 0,27, yang berarti setiap 1 rupiah biaya menghasilkan pendapatan sebesar 0,27 rupiah.
Dari data BPS ini, dapat dilihat bahwa baik padi sawah maupun padi ladang memiliki biaya produksi yang lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh, sehingga keduanya tidak mencapai titik imbang dan petani cenderung mengalami kerugian.
Biaya produksi ini meliputi biaya pupuk, bibit unggul, SDM, pajak, retribusi, bahan bakar dan teknologi pertanian. Di saat yang sama, akses terhadap sumber pembiayaan atau inklusi terhadap produk keuangan petani khususnya di pedesaan masih terbatas.
Dari data OJK, tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat pedesaan adalah 48,43% dan 82,69% atau masih di bawah jika dibandingkan wilayah perkotaan yang mencapai 50,52% dan 86,73%. Gap inklusi dan literasi keuangan kota dan desa masih lebar, yakni 2,09% dan 4,04%.
Kendatipun kesenjangannya kecil, namun upaya mencapai target optimum literasi dan inklusi keuangan di pedesaan melalui program-program edukasi perlu dilakukan. Salah satu bentuknya adalah mengintegrasikan produk keuangan dan pembiayaan pada sumber ekonomi utama kehidupan masyarakat desa.
Dengan preferensi pekerjaan penduduk desa yang dominan pada sektor pertanian, maka produk-produk keuangan pun diharapkan dapat berpenetrasi ke ekosistem pertanian. Baik pinjaman, asuransi pertanian, tabungan, dan investasi yang mendukung kegiatan pertanian.
BUMDes pembiayaan pertanian, memiliki sumber modal dari penyertaan APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) serta segmentasi pada berbagai komunitas usaha dalam ekosistem pertanian dengan skala mikro. Dari BUMDes pembiayaan ini, bisa diekspansi ke produk asuransi pertanian, tabungan, dan investasi berbasis sumberdaya masyarakat desa.
Dengan mengadopsi Grameen Bank-nya Muhammad Yunus, maka BUMDes dengan produk microfinance dan microcredit bisa menggunakan Non-Collateral Loan, dimana social collateral sebagai basis jaminan. Dengan basis pendanaan dari BUMDes, tabungan, crowd funding, CSR dan 20% dari mandatory APBDes, setiap desa bisa membangun sumber pembiayaan pertanian desa dalam bentuk BUMDes. Jadi mandatory 20% APBDes untuk ketahanan pangan dan sektor pertanian desa tidak hanya untuk belanja input fisik seperti pupuk, bibit dan alat pertanian, tapi juga diperuntukkan sebagai penyertaan untuk BUMDes pembiayaan pertanian desa.
Sumber dana murah dari BUMDes pembiayaan pertanian dapat dilihat dari beberapa potensi. Diantaranya, penyertaan APBDes (mandatory 20%), kemitraan, pengembangan SDM, crowdfunding/partisipasi komunitas, skema pinjaman berbasis kepercayaan atau social collateral, pengelolaan dana yang prudent serta inovasi ke arah digitalisasi.
Dengan mengintegrasikan semua elemen di atas, BUMDes pembiayaan dapat menciptakan sistem pembiayaan pertanian desa yang efisien dan berkelanjutan dengan cost of fund yang rendah. Dengan demikian, selain fasilitas pembiayaan seperti KUR, petani desa juga memiliki lapisan pendanaan tambahan, yaitu BUMDes pembiayaan pertanian dengan bunga rendah.
Langkah-langkah ini, diharapkan sebagai bagian exit strategy dalam memperkuat sisi suplai pangan domestik. Pemerintah sekaligus dapat menekan biaya produksi pertanian yang mahal sehingga menguntungkan petani pedesaan. Politik pangan kita idealnya tak melulu berorientasi korporasi. Pembangunan sektor pertanian berbasis komunitas, seperti pada petani pedesaan, memiliki akar yang kuat. Bukankan sistem pangan yang kuat di pedesaan, adalah pilar ketahanan pangan nasional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H