Terus terang, saya itu sudah bosan dengan verbalisme politik. Kasarnya, verbalisme politik itu seperti orang jual obat. Besar di omongan, tapi nihil insight. Aspek teknokrasinya pun minus. Tapi sebagai suatu speak up politik, boleh lah. Untuk mengagitasi masyarakat yang gemar dengan hal-hal yang bombastis.
Beberapa hari ini, beredar video obrolan salah satu Wakil Bupati Alor di lini masa. Dia bilang begini, "PAD Alor itu kecil; Rp58 miliar. Bangun Alor butuh uang banyak. Jadi kita pilih calon bupati yang punya jaringan pusat, biar dorang bisa bawah uang pulang bangun Alor."
Saat melihat video itu, saya senyum-senyum geli. Ini yang saya sebut, verbalisme politik. Asal omong. Yang penting bunyi dan orang tepuk tangan. Tapi sebenarnya tak lebih dari siasat penjual obat
Ada suatu adagium di Alor yang namanya kolopohong; tukang omong sampai air liur tapo'a, tapi sekedar cuap-cuap kosong. Maknanya mirip-mirip dengan verbalisme politik. Penjual obat
Omong besar tapi value secara teknokratiknya nihil. Itulah yang saya maksudkan, "kepala daerah orang pusat, bisa bawa uang banyak pulang bangun Nusa Tenggara Timur (NTT ) atau Alor.
Setelah menyimak video itu, saya bertanya-tanya, memangnya semudah itu orang ke Jakarta dan bawa uang pulang ke Alor? Yang ada itu, dengan APBD yang ada, bapa bikin program yang pro-pertumbuhan dan pro-investasi (sesuai core bisnis daerah). Kalau ada investasi, barulah ada return.
Return ke daerah itulah dalam bentuk PAD. Bukan karena bapa punya calon bupati pernah ngekos di Jakarta, lalu datang dan bawa uang pulang ke Alor atau NTT. Lalu sulap PAD dari Rp.58 miliar menjadi Rp.100 miliar. Jangan baku akal la
Problem rendahnya PAD di NTT itu bukan karena "tidak punya orang puasat," tapi lambannya reformasi struktural dalam ekonomi NTT. Apa yang bapa dorang mau harapkan, dari PDRB berdasarkan lapangan usaha di NTT yang lebih besar disumbang oleh sektor informal di bidang kehutanan, perikanan dan kelautan?"
Sementara sektor produktif yang meng-absorb pekerjaan sektor formal seperti industri pengolahan, share-nya hanya 1,49 % terhadap PDRB. Demikian juga sektor produktif seperti pariwisata dan ekosistem-nya yang lebih related dengan local content NTT
Bagaimana PAD-nya mau besar, sementara sektor ekonomi kita diisi oleh sektor-sektor yang hard to tax dengan tax base daerah yang rendah? Memangnya PAD bisa disulap menjadi Rp.100 M tanpa reformasi struktural? Disinilah kita bertanya, proposal bapa dorang sebagai calon kepala daerah itu apa?