Pulau yang tak jauh dari Baranusa Kabupaten Alor-NTT. Sekitar 15 mil atau memakan waktu sekitar satu jam ke Pulau Lapang dermaga dari Baranusa.
Sejak dulu, pulau Lapang dikelola masyarakat adat Baranusa. Masyarakat nelayan melangsungkan hidup disana. Dari budidaya rumput laut, selam; tembak ikan, mancing, menaruh bubu hingga pukat
Dengan legacy dan artefak serta literatur sejarah dari berbagai sumber, menerangkan bahwa pulau Lapang merupakan wilayah otoritas masyarakat adat Baranusa. Oleh sebab itu, hamparan ruang pulau Lapang merupakan hak ulayat masyarakat adat Baranusa.
Tradisi hading dan hoba mulung sebagai local wisdom dalam menjaga kesimbangan alam di pulau Lapang, adalah legacy yang memberikan alur; jejak sejarah tentang eksistensi masyarakat adat Baranusa di pulau Lapang. Dan harapannya, pemerintah hadir dan mengukuhkan eksistensi masyarakat adat Baranusa di kemudian hari. Bukan sebaliknya.
Pulau Lapang, dengan pantai berpasir putih yang membujur panjang. Padang savana yang menguning dan bergontai diusap angin laut, bak mutu manikam, memantik syahdu dan decak kagum akan enigma karunia Ilahi.
Kala sore, tampak mentari dengan lembayung senja yang merah merona, melukis warna nan indah sepanjang Nuha Wutung hingga ke pesisir pantar. Setiap lekuk pulau Lapang, ada spot-spot yang instagramable nan indah untuk diabadikan sebagai memori romantik
Rata-rata masyarakat Pantar Barat, disuplai oleh hasil nelayan di pulau Lapang. Mulai dari ikan basah, ikan kering dan kerang-kerangan.
Sudah banyak sarjana yang lahir dari hasil komoditas kekayaan laut di pulau Lapang. Selain bertani; ladang, masyarakat Baranusa melangsungkan hidupnya sebagai nelayan di pulau Lapang.
Dari situs BBKSDA-NTT, kekayaan biota laut di pulau Lapang beragam. Ada Raja Udang (Alcedo sp), Kuntul karang (Egretta sacra), Belibis (Dendrocygna sp), Cerek kernyut (Pluvialis fulva), Pergam (Ducula sp), Wili-wili (Esacus neglectus), Trinil pantai (Actitishy poleucos), Remetuk laut (Gerygone sulphurea), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu hijau (Chelonia mydas) Paus, Lumba-lumba dan Mollusca (kepala kambing, kima kecil, nautilus berongga) dan Rumput Laut (Eucheuma spinosum)
Karena melangsungkan hidup sebagai petani ladang dan nelayan, maka di musim tertentu, larangan melakukan aktivitas di kawasan tertentu pulau Lapang dilakukan oleh masyarakat adat Baranusa melalui tradisi Hading dan hoba mulung. Biasanya hading dan hoba mulung ini dilakukan sesuai siklus musim bertani.
Biasanya, musim tanam utama (Rendeng) jatuh pada bulan November hingga Maret atau Juni. Dalam range waktu tersebutlah kegiatan hading dan hoba mulung dilakukan.
Dari siklus rendeng, biasanya masyarakat lokal Baranusa lebih banyak di darat untuk berladang selama tiga atau empat bulan.
Dalam periode tersebutlah hading mulung berlaku. Masyarakat dilarang melakukan aktivitas nelayan di kawasan yang di-mulung.
Sementara saat pasca panen, masyarakat dibolehkan kembali beraktivitas di kawasan mulung, disebut hoba mulung sekitar bulan Juni.
Kegiatan hading dan hoba mulung, dilakukan dengan ritus adat Baranusa. Tak semua orang dapat melakukannya. Biasanya ritual hading dan hoba mulung, dilakukan tuah adat suku Sandiata. Merekalah rumpun adat yang dipercayakan raja Baranusa sebagai juru kunci di pulau Lapang.
Oleh sebab itu, ritual adat dengan berbagai liang dan syair, dilakukan dengan menyembelih hewan kurban yang dipersembahkan untuk arwah leluhur.
Ritual hading mulung dengan berbagai prosesi adat, dipercaya memiliki kekuatan interkoneksi dengan alam. Akan mendapat tulah bagi yang melanggarnya. Masyarakat adat Baranusa, mempercayainya secara turun temurun.
Dengan hading dan hoba mulung, keseimbangan ekosistem di kawasan pulau Lapang masih terjaga hingga hari ini.
Beberapa tahun belakangan (sudah tiga tahun), Pemprov NTT melalui perwakilan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) dan stakeholder-nya, secara partisipatif ikut mendukung kegiatan hading dan hoba mulung.
Langkah ini dipercaya sebagai upaya menjaga kesinambungan ekologi di pulau Lapang. Menghidupkan kembali hading dan hoba mulung, juga sekaligus mengkonservasi budaya lokal masyarakat adat Baranusa.
Budaya hading dan hoba mulung, adalah local geniuses masyarakat adat Baranusa yang related dengan arus utama pembangunan saat ini, yakni pembangunan yang berkelanjutan. Budaya lokal Baranusa dimaksud, sejalan dengan upaya menjaga regenerasi biota yang ada dalam ekosistem perairan di pulau Lapang.
Hading dan hoba mulung, ibaratnya masyarakat adat Baranusa melakukan deposit ekologis, dengan menjaga proses regenerasi biota laut di pulau Lapang. Dampaknya terasa, dimana populasi biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Baranusa mengalami kesinambungan dalam siklus hidupnya hingga kini.
Ibarat kata, hading mulung yang dilaksanakan di wilayah Selatan, Timur, dan Barat Pulau Lapang dengan total seluas 146,22 hektar, menjadi kawasan bank ikan dan spesies lainnya yang menjadi komoditas income bagi masyarakat Baranusa.
Dengan cara menutup sementara area penangkapan ikan (hading mulung), maka terjadi jeda waktu bagi ekosistem laut untuk memulihkan diri dan memperbanyak diri.
Ini mirip seperti menabung uang di bank, di mana kita menyimpan sebagian pendapatan untuk masa depan yang lebih baik. Alhasil, hingga saat ini, masyarakat nelayan Baranusa, masih menggantungkan kehidupannya di Pulau Lapang
Prospek ekonomi
Baranusa merupakan ibukota kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor. Sejauh ini, bila kita lihat, struktur ekonomi kabupaten Alor dari sisi lapangan usaha, 32% digenjot oleh sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Sektor ini menjadi komponen terbesar dalam mendukung PDRB kabupaten Alor dengan nilai moneter sekitar Rp.1,1 triliun.
Dengan porsi yang besar dalam PDRB Alor, maka nilai tambah sektor ini perlu terus digenjot melalui investasi pemerintah dan swasta. Salah satunya pengelolaan sumber daya blue economy yang ada di pulau Lapang secara terintegrasi. Baik sektor kelautan dan perikanan serta pariwisata.
Bertumbuhnya sektor primer seperti perikanan, kelautan dan pariwisata serta ekosistemnya, akan berdampak pada sektor sekunder seperti seperti industri pengolahan hasil laut, pembuatan perahu, dan pembangunan fasilitas wisata.
Yang paling menarik adalah dampaknya pada sektor tersier atau jasa. Sektor jasa akan tumbuh karena adanya kebutuhan untuk mendukung sektor primer dan sekunder. Sebagai contoh, transportasi, dibutuhkan transportasi untuk mengangkut hasil laut ke pasar dan mengangkut wisatawan.
Perhotelan dan restoran, pertumbuhan pariwisata akan meningkatkan permintaan akan akomodasi dan makanan. Sektor UMKM pun akan tumbuh. Munculnya pasar-pasar untuk menjual hasil laut dan produk olahannya.
Jasa lainnya, seperti jasa pemandu wisata, penyewaan peralatan, dan lain-lain akan tumbuh, sebagai rangkaian multiplier effect dari value added. Ada dampak berganda terhadap ekonomi Kabupaten Alor dan Pantar Barat, bila sumber daya seperti pulau Lapang dikelola secara baik, benar dan inklusif.
Namun sayangnya, belanja modal yang menyasar pada core business daerah masih terbatas. Selain daya dukung fiskal yang terbatas, political will pun masih minim.
Dari sisi kebijakan anggaran, porsi belanja modal dalam APBD masih minim, hanya di kisaran 16% dari APBD. Ini pun tidak secara eksplisit menyasar ke core business daerah
Harapan lainnya adalah mendorong sektor swasta termasuk BUMN/BUMD untuk berinvestasi pada sektor unggulan di Alor. Desas desus bahwa pembangunan kawasan wisata yang dimotori Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo dan Flores (BOPLBF) dengan berbagai investasi, telah menempatkan Alor sebagai teritori penting dari Key Points dalam Integrated Tourism Master Plan (ITMP).
Dengan dukungan investasi pemerintah melalui penempatan capital expenditure dalam APBD, kolaborasi swasta dan BUMN atau melalui public private partnership/PPP dalam ITMP, saya meyakini, efek berganda dari ekonomi Alor akan terealisasi pada 10 atau 20 tahun ke depan. Dan tentu political will adalah bagian linkage sebagai akselerator.
Tentu saja sebagai putra daerah, saya membayangkan dengan penuh optimis, bahwa kelak Pantar Barat sebagai salah satu sentrum penting dari pengembangan sektor perikanan, kelautan dan pariwisata di Alor.
Sebagai bridging of economy, bila pulau lapang dikelola sebagai lumbung ikan di Alor sekaligus sebagai destinasi point pariwisata di kabupaten Alor.
Pembangunan yang inklusif
Ekonom India, Amartya Sen (1998), berpendapat masyarakat harus diberikan ability to achieve untuk mencapai tujuan ekonomi. Masyarakat tak mungkin mencapai kesejahteraan, bila pemerintah cenderung berpihak pada bandar dan taipan (capitalis). Oleh sebab itu, Sen meletakkan pentingnya keadilan.
Joseph Stiglitz (2003), pun mengkritik keras pembangunan yang terlalu berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspek sosial dan distribusi pendapatan. Senada dengan dua ekonom di atas, Dani Rodrik (1997) menekankan pentingnya menyesuaikan kebijakan ekonomi dengan kondisi lokal.
Dari pikiran Sen, Stiglitz, dan Rodrik, kita dapat mengambil benang merah, bahwa pembangunan tak sekedar mencapai angka-angka statistik dalam pertumbuhan ekonomi. Di dalamnya harus ada keadilan untuk mencapai kesejahteraan, distribusi pendapatan dan akseptabel terhadap sosio kultural masyarakat lokal. Dengannya maka pembangunan yang baik, mensyaratkan "inklusivitas ekonomi" sebagai moral paling tinggi dalam pembangunan.
Apa yang terjadi pada masyarakat di Pulau Komodo-Labuan Bajo (2022), dimana upaya penggusuran masyarakat lokal dengan dalil pengembangan kawasan wisata premium, adalah noktah pembangunan yang bias keadilan. Justru mendistorsi hakikat pembangunan itu sendiri
Kecemasan yang sama sedang dialami masyarakat nelayan Baranusa, bila eksistensi mereka, tak ditempatkan sebagai bagian elementer pembangunan kawasan pulau Lapang. Dus investasi dan subordinasi eksistensi masyarakat lokal dengan cara-cara represi sudah menjadi pakem di Indonesia.
Oleh sebab itu, masyarakat adat Baranusa, harus menjadi elemen penting dalam rencana pengelolaan pulau Lapang per se.
Tugas pemerintah daerah adalah melakukan komunikasi yang baik dan terbuka dengan masyarakat. Semuanya tercatat dalam MoU (Memorandum of Understanding) yang jelas. Sehingga ketika pemerintah ingin mencapai tujuan pembangunan, tak mencederai rasa keadilan, sehingga pembangunan, mencapai tujuannya dengan cara-cara yang inklusif. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H