Apa yang terjadi pada paradoks Chile sebagaimana yang ditulis ekonom Sebastian Edwards dan diulas Prof Chatib Basri beberapa kali dalam artikelnya, adalah sebuah anomaly ekonomi. Kinerja ekonominya melesat tapi menyimpan sejumlah paradoks.
Dalam kasus Chile, terjadi peningkatan pendapatan kelas atas yang proporsinya secara demografi sangat kecil. Di saat yang sama, kemiskinannya turun drastis akibat dukungan belanja sosial sementara kelas menengah yang terabaikan.
Dalam konteks Indonesia, kelas atas hanya 1,2% dalam peta demografi. Sementara 34,3% (dari kelompok rentan + miskin) ini di-cover oleh dukungan fiskal melalui bantalan sosial. Sementara 20% yang merupakan kelas menengah acapkali terabaikan dalam dukungan kebijakan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Chile, adalah akibat dari dukungan investasi pemerintah dan kontribusi sektor pertambangan. Perputaran uang menumpuk pada kelas atas melalui investasi pemerintah dan kredit perbankan. Demikian juga dukungan fiskal pada kelompok miskin melalui Bansos.
Sementara kelompok kelas menengah, adalah yang acap kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka, seperti kenaikan harga dan pajak. Mereka (kelas menengah) acapkali menjadi kelompok yang helpless dari kebijakan pemerintah.
Sementara kelas menengah ini adalah engine of growth (dari proksi PDB pengeluaran). Di Indonesia, kelas menengah sendiri merupakan kontributor utama PPN dengan kontribusi rata-rata sebesar 43%. Hampir setengah atau 47% dari seluruh konsumsi rumah tangga Indonesia berasal dari kelompok kelas menengah.
Ledakan social unrest di Chile pada 15 Oktober 2019, adalah puncak dari paradoks di balik moncernya ekonomi Chile. Ternyata ekonomi yang moncer dan kemiskinan yang rendah, menyimpan gumpalan anomali kebijakan ekonomi dan tiba-tiba meledak.
Mungkin saja ekonomi Indonesia sedang bergerak ke arah paradoks Chile. Dengan gaung hilirisasi tambang yang intens, arus investasi berbondong-bondong mengalir ke sektor ekstraktif, membuat investasi di sektor ekonomi lainnya menjadi terabaikan atau yang dikenal dengan penyakit Belanda (Dutch disease)
Di saat yang sama, distraksi pada lingkungan, seperti deforestasi, kerusakan ekosistem air, juga menjadi sebab hilangnya mata pencaharian masyarakat. Maka tak heran bila pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah tambang, tapi kemiskinan juga meningkat (jobless growth). Orang kehilangan mata pencaharian (akibat kerusakan alam), sementara sektor pertambangan tidak mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak karena sifatnya yang technology intensive .
Tekanan Kelas Menengah
Dalam kasus Indonesia, saat ini, kehidupan masyarakat kelas menengah cukup tertekan. Dari inflasi harga pangan bergejolak (volatile food), kebijakan suku bunga (policy rate) yang berdampak pada suku bunga dasar kredit (SBDK) dan rencana kenaikan PPN 12% di tahun 2025.
Indikator tertekannya kelas menengah ini bisa kita lihat dari data Mandiri Spending Indeks. Berdasarkan kelompok pengeluaran, peningkatan optimisme terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp.1--2 juta, di mana nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) meningkat menjadi 114,3 di Februari 2024 dari 113,3 di Januari 2024. Sementara itu, kelompok pengeluaran lainnya mengalami penurunan dengan penurunan terbesar terjadi pada tingkat pengeluaran Rp.4,1-5 juta.
Perlu dicatat, bahwa kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 1-2 juta di Indonesia adalah kelompok menuju kelas menengah yang cenderung berasal dari sektor informal. Sektor informal di Indonesia mencakup usaha berskala kecil atau usaha perorangan yang tidak diatur dan tidak diakui pemerintah, serta seringkali tidak terlindungi oleh jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan
Jadi tingginya IKK kelompok ini (menuju kelas menengah), tidak menjadi faktor penggerak yang signifikan terhadap mesin ekonomi. Malah mereka juga menjadi rentan terjerembab ke kategori rentan dan miskin, bila terjadi gejolak harga yang berdampak pada daya belinya.
Gejolak harga di satu sisi dan tidak tercovernya kelas menengah di sisi lain oleh kebijakan pemerintah, bisa menyebabkan daya beli kelompok ini tertekan. Dengan porsinya yang besar terhadap total konsumsi RT, maka bisa berimpak pada kontribusi terhadap PDB.
Keberpihakan
Hingga Maret 2024, ruang fiskal pemerintah cukup resilien. Terlihat dari surplus primary balance sebesar Rp. 22,8 Triliun. Secara makro ekonomi, primary balance juga menjadi salah satu indikator dalam cyclically adjusted dari sisi politik anggaran atau yang dikenal dengan cyclically adjusted primary balance (CAPB).
Saat ekonomi stuck, konsumsi tertekan, maka dengan primary balance yang positif, bisa mendorong fiscal stance cenderung ekspansif. Dengan cara relaksasi terhadap pajak, suku bunga (dari sisi moneter) dan meningkatkan government spending melalui dukungan fiskal pada kelas menengah yang menjadi pihak yang tidak beruntung dari kondisi saat ini.
Ruang fiskal longgar, bisa dimanfaatkan untuk menopang daya beli menengah yang selama ini sering diabaikan pemerintah. Pemerintah bisa memberikan insentif dan relaksasi fiskal atas penjualan produk-produk durable good, melalui berbagai paket relaksasi kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal dan moneter yang mengarah pada stabilisasi, difokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang tidak awas terhadap gejolak harga. Karena kita tak bisa pungkiri, konsumsi Rumah Tangga memiliki kontribusi tertinggi terhadap PDB. Dan kelas menengah adalah motor penggerak utama dari konsumsi RT.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H