Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Hasil Rumput Laut Keempat Anaknya Sarjana

5 Desember 2022   15:47 Diperbarui: 13 Desember 2022   13:20 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha )

Bapak Kasim Subang adalah keluarga saya di Pantar Barat, desa Ilu. Kami juga bertetangga. Dia petani ladang. Hasil pertanian ladang cuma diperoleh setahun sekali. Itu pun sebatas untuk kebutuhan makan minum.

Saya pernah menulis tentang bapak Kasim, dibaca ribuan orang di rubrik Kompasiana. Ia menginspirasi banyak orang-orang kecil senasib.

Tak ada sumber income tetap. Sesekali ia mengolah kopra. Tapi karena pasar yang terbatas dan harga yang tak menentu, membuatnya tidak rutin menimbang komoditas ini.

Sejak tahun 2010, pasar rumput laut bergairah di Alor, khususnya pulau Pantar. Kala libur ke kampung, saya lihat bapak Kasim, Paman Miteng dan warga sekitar, bergeliat menanam rumput laut.

Sepanjang teluk Barnusa menuju teluk Bugeng Wowang, tanaman rumput laut berjejal. Saban pagi dan sore, Bapak Kasim wara wiri membersihkan aneka sampah di sekitar area tanaman RL. Begitulah rutinitasnya.

Untuk menanam rumput laut, ia hanya butuh modal tali, pelampung dan bibit. Karena arena tanaman tak jauh dari rumah, maka ia tak butuh bahan bakar. Hanya bermodal sebuah sampan kecil.

Alat dan bibit itu kadang ia peroleh dari program bantuan, atau usaha sendiri. Yang jelas, setiap masa panen, senyumnya merekah. Ia pun bisa lega, mendulang cuan dari hasil bertani rumput laut. Dari sinilah, ia menyekolahkan anak-anaknya.

Suatu waktu, kala ia datang ke pesta wisuda anaknya di UIN-Bandung, pak Kasim bercerita, dari hasil rumput laut itulah, ia bisa menguliahkan empat anaknya. Dan sekarang keempatnya sudah sarjana.

"Ama, kame mulla apa kia ke bire ire kia bisa kuliah sakali. Ti gute seng talla ga ku? Harapan ba lagara le." Dengan menanam rumput laut, baru keempat anaknya bisa kuliah. Mau ambil uang dari mana kalau bukan tanam rumput laut.

Kini keempat anaknya itu sudah sarjana. Ada Fathur (guru), Burhan (wirausaha), Sita (pegawai honorer kecamatan) dan Bineng (guru Bahasa Inggris).

Waktu ke Bandung, saya ajak pak Kasim ke Jakarta. Kami jalan-jalan ke pusat-pusat kuliner di Jakarta. Kami foto-foto di Monas, dan salat Jumat di lantai 19 Fraksi PAN, gedung DPR RI.

Waktu salat Jumat, saya minta pak Kasim duduk di saf terdepan. Sederet dengan elit-elit DPR. Ia terlihat sungkan, saya bilang, "Sudah, di depan saja, dalam salat semua sama, tak ada kasta."

Ia salat tapi nampak kikuk. Sehabis salat ia bisik ke saya lirih, "Ama, nuhung ti sabeang kate, pas ruku, go seru go leing meha saha hakku. We wono kate leing bura nong manurreng boing." 

Rupanya saat ruku, pak Kasim perhatikan kaki orang-orang sederet dengannya. Kata dia cuma kaki saya yang dekil, yang lain, putih dan mulus. Sempat-sempatnya dalam salat, ia melihat kaki para penguasa itu.

Pak Kasim mewakili semangat orang-orang kecil di kampungku, menyambung hidup dan mendongakkan harapan masa depan anak dengan menanam rumput laut. Ia mewakili berjubel warga, yang menggantungkan nasibnya di sini.

Waktu pulang kampung, sekitar akhir Oktober 2022, suatu pagi, saya lihat pak Kasim mengupas kelapa. Ia kembali mengolah kopra. Katanya ini sambilan saja. Kini ia lebih lega, keempat anaknya sudah mendulang gelar sarjana.

Waktu Pergub NTT larangan ekspor rumput laut keluar, dengan harga yang diregulasi (bukan berdasarkan harga mekanisme pasar), saya tertegun. Saya kembali teringat pak Kasim beberapa tahun silam. Terbersit ingatan saya, bagaimana dengan orang-orang seperti pak Kasim saat ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun