Waktu ke Bandung, saya ajak pak Kasim ke Jakarta. Kami jalan-jalan ke pusat-pusat kuliner di Jakarta. Kami foto-foto di Monas, dan salat Jumat di lantai 19 Fraksi PAN, gedung DPR RI.
Waktu salat Jumat, saya minta pak Kasim duduk di saf terdepan. Sederet dengan elit-elit DPR. Ia terlihat sungkan, saya bilang, "Sudah, di depan saja, dalam salat semua sama, tak ada kasta."
Ia salat tapi nampak kikuk. Sehabis salat ia bisik ke saya lirih, "Ama, nuhung ti sabeang kate, pas ruku, go seru go leing meha saha hakku. We wono kate leing bura nong manurreng boing."
Rupanya saat ruku, pak Kasim perhatikan kaki orang-orang sederet dengannya. Kata dia cuma kaki saya yang dekil, yang lain, putih dan mulus. Sempat-sempatnya dalam salat, ia melihat kaki para penguasa itu.
Pak Kasim mewakili semangat orang-orang kecil di kampungku, menyambung hidup dan mendongakkan harapan masa depan anak dengan menanam rumput laut. Ia mewakili berjubel warga, yang menggantungkan nasibnya di sini.
Waktu pulang kampung, sekitar akhir Oktober 2022, suatu pagi, saya lihat pak Kasim mengupas kelapa. Ia kembali mengolah kopra. Katanya ini sambilan saja. Kini ia lebih lega, keempat anaknya sudah mendulang gelar sarjana.
Waktu Pergub NTT larangan ekspor rumput laut keluar, dengan harga yang diregulasi (bukan berdasarkan harga mekanisme pasar), saya tertegun. Saya kembali teringat pak Kasim beberapa tahun silam. Terbersit ingatan saya, bagaimana dengan orang-orang seperti pak Kasim saat ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H