Apalagi investor tidak ujuk-ujuk masuk ke suatu tempat. Tidak hanya ketersediaan bahan baku saja dilihat. Tapi terkait IRR (internal rate of return). Suatu investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya lebih besar daripada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain. Kalau IRR rendah, investor lebih memilih berinvestasi di tempat lain.
Indikatornya banyak. Misalnya elektrifikasi di NTT itu bagaimana? Infrastruktur terkait konektivitasnya bagaimana? SDM-nya bagaimana? Ini penting, karena terkait komponen input dan biaya logistik. Oleh sebab itu, investasi terkait hilirisasi ini butuh waktu lama.
Dalam rentang waktu yang lama untuk investasi tersebut, petani rumput laut dirugikan. Karena impak dari Pergub NTT membuat mereka tidak bisa menjual rumput laut dengan harga yang kompetitif.
Pertanyaan paling substansial adalah, apakah ada DMO (domestic market obligation) yang harus/wajib dipenuhi oleh produksi rumput laut domestik NTT? Dalam rangka memenuhi pasokan kebutuhan bahan baku dalam produk hilir rumput laut.
Logika dibatasi ekspor rumput laut, adalah dalam rangka memenuhi DMO produk hilir rumput laut di NTT. Inilah sejatinya menjadi reasoning behind the policy, kenapa perlu ada pembatasan ekspor rumput laut keluar NTT. Selama tidak ada ketentuan DMO, logika dari Pergub NTT seluruhnya false dan merugikan rakyat/petani rumput laut !
Untuk itulah, diperlukan relaksasi terhadap Pergub NTT terkait larangan ekspor rumput laut. Harapannya, rencana hilirisasi tersebut tidak langsung membuat jeblok harga rumput laut di level petani. Sejauh tak ada masalah terkait pasokan bahan baku untuk produk hilir, maka pembatasan terhadap ekspor rumput laut juga perlu direlaksasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H