Dari beberapa sumber yang saya ikuti, gubernur Nusa Tenggara Timur tetap keukeuh dengan Pergub larangan ekspor rumput laut keluar NTT karena alasan "hilirisasi." Investasi dari Philipina, China dll di arahkan ke sini (hilirisasi) dalam rangka mengangkat derajat hidup petani rumput laut NTT.
Dalam Pergub Nomor 39 Tahun 2022 tentang Tata Niaga Komoditas Hasil Perikanan di Provinsi NTT, khususnya pada pasal 15 ayat (3), berbunyi : "Dikecualikan terhadap komoditas hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus untuk rumput laut dalam bentuk bahan baku yang sudah dikeringkan dilarang untuk diperdagangkan di luar daerah."
Namun ada dinamika yang menarik. Soal polemik ketimpangan harga, antara dijual ke luar yang lebih mahal dari harga domestik (by regulation). Ditengarai ada conflict of interest. Harga rumput laut yang lebih murah tersebut, diarahkan pada tiga perusahaan, masing-masing : PT. Algae Sumba Timur Lestari, PT. Rote Karaginan Nusantara dan CV. Agar Kembang. Terkait ini, Ombudsman NTT pun sudah meminta Pemprov NTT mengkaji ulang regulasi dimaksud (Baca : Ombudsman NTT Minta Pemprov NTT Lakukan Kajian Terkait Harga Jual Rumput Laut Rendah)
Jika kita lihat track record tiga perusahaan ini, salah satu diantaranya (PT Algae Sumba Timur Lestari), pernah diseret Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komisi (KPPU); terkait praktek monopsoni (keadaan pasar dengan jumlah penjual yang banyak dan pembeli tunggal). Praktek monopsoni tidak diperkenankan, karena dapat menciptakan persaingan tidak sehat dan merugikan pihak lain, khususnya petani.
Dengan Pergub yang menunjuk tiga perusahaan tersebut sebagai penyerap hasil rumput laut, sudah mengarah pada praktek monopsoni (bila tiga PT ini menjadi pemain tunggal pasar rumput laut di masing-masing wilayah/kabupaten). Siapa yang rugi dalam hal ini? Ya petani ! Karena mereka tidak bisa menjual rumput laut dengan harga yang kompetitif (competition--based pricing). Karena yang ditekan/deregulasi adalah harga ditingkat petani.
Gubernur meregulasi harga rumput laut hanya dijual di NTT ke tiga perusahaan yang akan beroperasi di NTT dengan harga Rp 20 ribu/kg. Sementara petani merasa lebih untung jual langsung ke Makassar dll.
Dari beberapa sumber yang saya research, misalnya, per 19 November 2022, harga rumput laut di tingkat pengepul itu Rp.32 ribu/Kg. Tapi di Makassar, Rp.48 ribu/kg. Dengan dinamika harga yang serupa, lalu ketika Pergub NTT larangan ekspor keluar itu diberlakukan, dengan menunjuk tiga PT tersebut, justru ini secara nyata merugikan petani.
Rata-rata petani tradisional tidak punya tempat/gudang yang memadai. Sementara rumput laut yang sudah dipanen, harus disimpan dalam jumlah besar karena larangan menjual ke luar. Bahkan ada beberapa pengepul "nakal" yang jual ke luar dengan mengambil izin ekspor dari provinsi lain melewati "jalur tikus." Malah yang rugi pemda NTT sendiri kan?
Relaksasi Pergub NTT
Justru saat ini, Regulasi gubernur NTT tersebut menciptakan suasana tidak pasti (uncertainty). Suasana ketidakpastian yang merugikan rakyat/petani rumput laut. Kapan investor dari China, Vietnam dan Philipina melakukan investasi langsung di produk hilir rumput laut? Bayangkan, sepanjang suasana belum pasti, rakyat kecil/petani rumput laut butuh makan, baiaya anak sekolah dan konsumsi Rumah Tangga lainnya. Sementara rumput laut (hasil panen) tidak bisa dijual dengan harga yang lebih menguntungkan.