Kenapa cuma Ganjar dan Anies, karena dua figur new comer ini yang tren elektoralnya kompetitif. Kalau Puan tak perlu direken. Kalau Prabowo memang spesialis capres. Sebatas meneguk benefit efek ekor jas elektoral, biar parliamentary threshold aman dari Pemilu ke Pemilu.
***
Standar political views kita perlu diubah. Agar melihat figur tidak melulu pada postur primordialitasnya. Maka dalam sebuah diskusi setengah kasak kusuk, seorang teman bertanya pada saya, "Apa sih hebatnya Ganjar, Nir? Kan naga-naganya partai pendukung pemerintah terkonsolidasi ke arah Ganjar."
Tentu saya tak sembrono menjawab. Kendati saya pun agak emoh menjawab. Karena pertanyaan itu disertai gairah politik yang tinggi juga.
Tapi saya bilang begini, keberhasilan seorang pemimpin membangun suatu daerah/kawasan itu selalu dilihat dari seberapa besar Human Development Index/HDI atau Indeks Pembangunan Manusia/IPM.
Dua periode Ganjar memimpin Jateng, IPM Jateng cuma naik di 72. IPM mengukur 3 aspek; akses terhadap pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan kategori Sangat tinggi: IPM 80 Tinggi: 70 IPM < 80, Sedang: 60 IPM < 70, Rendah: IPM < 60.
Berbeda dengan Ganjar, IPM DKI sepanjang 2017-2021 mencapai 81 poin; sangat tinggi. Di sinilah saya mau bilang hakekat pembangunan suatu daerah atau negara itu "subject to" manusia. Jadi sederhana sekali mengukur achievement seorang pemimpin dalam skala daerah, yakni kemampuan dia mengatrol indeks pembangunan manusia di daerah tersebut.
Pasti ada sanggahan, bahwa tentu beda Jateng dan DKI. Baik dari sisi demografi dan luas wilayah serta tingkat kesulitan geografis. Sebagai ibukota negara dengan wilayah penyanggah dua provinsi dengan transmisi masalahnya masing-masing, juga menjadi barrier secara ekonomi yang tidak mudah bagi Pemda DKI.
Tapi untuk apa size ekonominya besar, bila indikator-indikator dalam pembangunan manusia stagnan. Karena arah sasaran pembangunan itu sendiri bermuara pada masyarakat. Kualitas kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang terefleksi melalui IPM. Dan dari data-data BPS.
Itulah political views saya. Dan itu baru satu aspek. Belum lagi dari pelbagai achievement lainnya dari masing-masing figur.
Cara memoderasi bubble politics berikut pembengkakan ideologis di dalamnya, adalah mengatrol kualitas diskursus politik. Media sebagai motor penggerak diskursus publik. Tidak demi rating, tapi melerai pertikaian yang berujung pada pembelahan tajam secara primordial dengan varian bentuk. Menurut saya, masa konsolidasi ideologi itu sudah lama. Jangan sampai terlalu lama.