George Bernard Shaw pernah bertuah,"Political necessities sometime turn out to be political mistakes (Kebutuhan politik terkadang menggiring kita pada kesalahan politik)."
Maka kebutuhan politik dan kesalahannya, acapkali memiliki diferensiasi yang tipis. Tak usah terburu-buru melakukan pemutlakan atas politik, apalagi pada figur, sebagaimana quote Bernard Shaw.
Fabrikasi opini politik di media mainstream dan lini masa oleh influencer, soal figur-figur capres sudah membara. Makin deras mobilisasi isu melalui transmisi media digital, menggejala pada terjadinya bubble politics.
Kenapa bubble politics?
Karena isu politik, dari semua kalangan, entah politikus, ASN, pedagang pasar, emak-emak arisan, calo di terminal dll, tersalurkan lewat digital space campaign. Terimobilisasi dengan begitu cepatnya. Crowded!
Gelembung politik makin besar dan bisa meleduk kapan waktu. Dorr! Melahirkan polarisasi dan meninggalkan residu dimana-mana. Bahkan efek residu gelembung politik makin besar dan bisa meleduk kapan waktu. Dorr! Masih tercecer, dan menjadi toxic politik di ruang-ruang sempit public space.
Kita pernah mengalami situasi itu, bubble politics di 2019. Lima tahun, sejak 2019, adalah masa yang singkat, melewati masa efek luka memar (scaring effect) politik pembelahan.
Kalau model polarisasi politik, berikut pembelahannya masih pada pattern yang sama dan eskalasinya meningkat, maka bubble politics akan terjadi lagi. Publik akan head to head dalam pembengkakan ideologi akut.
Justru itulah yang kita takutkan. Bila pembengkakan ideologis itu, berada pada masa inkubasi panjang, di tengah-tengah meningkatnya eskalasi politik dan polarisasinya. Bagaimana cara memoderasi gejala politik yang diametral itulah, yang perlu dicari jalan keluarnya secara berjamaah.
Dus, diskursus politik menjadi fakir secara nilai, bila terburu-buru mengatakan Anies mewakili kelompok siapa dan Ganjar mewakili kelompok siapa. Teramat segmented! Kalau ada diskusi seperti ini, maka tak lebih dari kasak-kusuk arisan ibu-ibu kelurahan.