Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ekonom Salon dan Politisi Salon

15 Oktober 2022   08:37 Diperbarui: 17 Oktober 2022   07:16 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup sekarang tidak mudah, dan sekarang saat-saat sulit. Punya pendapatan sebagai pekerja serabutan, tapi inflasi tinggi. Uangnya kemakan inflasi. Jadi nilai untuk menukar dengan barang dan jasa terdilusi (Ilustrasi: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Dalam satu kesempatan mengikuti kuliah fiskal 100 term, di tahun 2020, pengajar yang sering saya dan kawan-kawan panggil Prof Awali, berujar sedikit murung, ekonom yang jarang bicara tentang ketimpangan (inequality), berarti dia "ekonom salon." Dus, keberpihakan itu ada dalam diskursus kesenjangan. Setali tiga uang, politisi yang jarang bicara tentang ketimpangan, "berarti dia politisi salon."

Sekarang para ekonom saban hari meramalkan pergerakan kurs rupiah. Ramalan dibikin saat pasar itu volatile-nya  ga karuan-karuan.

Di tengah kondisi yang sangat spekulatif itulah ramalan dibikin. Apa kata Doktor Chatib Basri di KOMPAS edisi 10/10/2022?

"Kala ekonom mulai meramalkan kurs rupiah, berarti selera humornya bagus, karena yang diramalkan pasti meleset semua."

Di tengah situasi begini, jarang ada ekonom, yang berteriak tentang ketimpangan.

***

Ironi, ekonomi sampai mangkrak di zona kontraksi sampai negatif 5%  kala kuartal awal 2021, tapi jumlah orang kaya melesat.

Sementara, orang miskin antre dan mati sesak nafas gegara antre sembako. Kalau sekarang kita tumbuh di teritori ekspansi, tapi di bawah angka  inflasi, dan itu dipicu inflasi harga bergejolak dan harga yang ditetapkan pemerintah,  artinya ekonomi kita "tumbuh dalam ketimpangan.  

Ya, tumbuh dalam ketimpangan. Karena inflasi harga bergejolak (volatile inflation), itu hanya dua komponen, yakni harga energi dan harga pangan. Soal harga pangan bergejolak ini paling rentan pada kelompok miskin. Karena 75% GK, disumbang oleh pengeluaran makanan. Jadi kala komponen pengeluaran ditekan inflasi komponen makanan, itu yang paling berisiko orang miskin. 

Kalau kita melihat data di Credit Suisse, sepanjang tahun 2020-2021, orang kaya di Indonesia meningkat tajam. Orang kaya dengan income US$ 1 juta meningkat hingga 61% sepanjang pandemi Covid-19. Orang super kaya/crazy rich dengan kekayaan bersih US$ 100 juta juga melesat 22% sepanjang wabah Corona. 

Coba saja kita lihat China. Mungkin Xi Jinping sudah gancet orang-orang crazy rich ini hingga gepeng dan terkaing-kaing. Jack Ma contohnya. Mau IPO dengan perkiraan kapitalisasi pasar ratusan triliun. Tanpa cerita panjang, Jack Ma langsung hilang ditelan bumi. Lantas saham perusahaannya di-divestasi.

Kejam? Ya kejam, agar jangan ada orang terlalu kaya. Itulah hakikat Komunisme. Negara punya tangan besi, menghapus kepemilikan pribadi. Negara yang harus kuat, bukan individu. Sekali-kali komunis juga penting !

Ilustrasi (Foto : Istimewa)
Ilustrasi (Foto : Istimewa)

Hidup sekarang tidak mudah, dan sekarang saat-saat sulit. Punya pendapatan sebagai pekerja serabutan, buruh tani dengan upah harian, tapi inflasi tinggi. Uangnya kemakan inflasi. Jadi nilai untuk menukar dengan barang dan jasa terdilusi. 

Secara logika, kala orang tak mampu memenuhi makan dan minum/hari, atau  berhari-hari itu sudah miskin absolut. Kendati kemiskinan kita masih single digit, itu karena Garis Kemiskinan referensi BPS Rp.505.469 perkapita/bulan. Atau Rp.16.305 perkapita/hari.  

Jadi kalau pekerja serabutan atau buruh tani dengan upah harian di bawah Rp.16.350, itu berarti miskin absolut. Sebaliknya, bila diatas angka GK referensi BPS, berarti ga jadi miskin. Kalau dia punya upah harian, katakanlah Rp.20.000/hari, itu artinya dia rentang miskin/near poor. 

Kelompok yang rentan miskin ini, punya sensitivitas yang tinggi, bila terjadi gejolak harga (volatile inflation). Dengan fixed income sebagai buruh tani demikian, mudah sekali dia jatuh terkusruk dan terserat ke kubangan kemiskinan. 

Let say, dengan GK perkapita/hari Rp.16.350 itu belum miskin, tapi apa iya, pengeluaran kelompok ini hanya memenuhi kebutuhan kilo kalori/hari? Bagaimana kalau dia punya cicilan? Tinggal di kontrakan hingga selonjoran pun ribet bukan main? Punya anak sekolah? Biaya transportasi? Biaya paket data? Tentu saja angka ini jauh di atas GK

Saat ini inflasi Indonesia 5,95% secara tahunan/year on year. Pertumbuhan ekonomi 5,44% secara tahunan/year on year pada Q2.  Jadi kalau pertumbuhan PDB riil di bawah inflasi, itu artinya pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas. Bahkan diperkirakan, inflasi hingga Q4 2022, bisa melesat hingga 6%, sementara pergerakan PDB berpotensi terbatas. 

Ekonomi kita lebih besar disumbang oleh konsumsi RT. Sekitar 56% PDB keluaran disumbang oleh konsumsi RT. Nah, saat suku bunga tinggi, akan terjadi dimand shortage. Datanya jelas kok. Misalnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berdasarkan survei BI melorot, indeks penjualan riil (IPR) juga melorot di bulan September. 

Kala terjadi demand shortage, maka maka konsumsi sebagai komponen PDB keluaran juga tertekan. Jadi inflasi berpeluang lebih tinggi di atas kinerja PDB. Pemerintah sudah on the right track dengan mempertebal bantalan sosial. Namun masalah tepat sasaran dan meng-cover yang rentan miskin itu menjadi soal. Problem ada pada data. Apa iya, dari satu rezim ke rezim lain, masalah kita cuma data yang pra-sejahtera? 

Harus dicatat, bahwa Bansos APBN hanya meng-cover mereka yang 40% berada di bottom line dari sisi pendapatan. Sementara mereka yang rentan miskin, itu belum menjadi perhatian pemerintah. Jumlah puluhan juta. Jadi saat inflasi kembali melesat di Q3 2022, bisa dipastikan, kelompok ini bakal jatuh ke liang miskin. 

Rata-rata ekonom sekarang lebih banyak bicara tentang pasar spekulatif. Politisi juga kebanyakan bicara tentang gimmick Pilpres. Jarang-jarang bicara tentang ketimpangan.

Apa karena itu, ada ekonom salon dan politisi salon?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun