Di tengah-tengah transmisi volatilitas global itulah, Bank Sentral RI/BI dituntut berada pada pilihan ramuan kebijakan untuk memediasi spillover effects. Diantaranya melalui politik diskonto atau BI7DRR, intervensi di pasar spot melalui DNDF /Domestik Non-Deliverable Forward, melalui kebijakan makroprudensial dengan mengontrol GWM rupiah, Dus DPR pun meminta agar perbankan/khususnya HIMBARA, perlu meningkatkan likuiditas valas.
Selain itu, upaya mendiversifikasi politik currency dengan memperluas kerjasama LCS/local currency settlement dengan negara mitra dagang menjadi strategi. Demikianpun melakukan repatriasi terhadap DHE/Dana Hasil Ekspor yang selama ini parkir di luar negeri miliaran US dollar.
Secara makro, postur ekonomi kita masih resilience. PDB kita masih tumbuh di atas 5%, inflasi masih dalam sasaran, bantalan likuiditas masih didukung oleh net ekspor yang bagus selama 28 bulan, rasio utang masih di bawah 60% demikian pun cadangan devisa kita masih cukup untuk 6 bulan ekspor (standar internasional 3 bulan ekspor). Akselerasi ekonomi pariwisata pun diharapkan menjadi magnet bagi devisa.
Namun dua masalah tadi, global supply shock dan global demand shortage, perlahan atau lambat akan melukai ekonomi Indonesia di tengah sisa efek memar pandemic yang masih ada. Maka pengelolaan APBN diharapkan prudent dan on the right track. Seturut itu, kebijakan moneter pun harus tetap mengakomodasi pertumbuhan. Sektor ekonomi yang selama ini menjadi defence sectors, harus diperkuat, terlebih-lebih dari sisi konsumsi masyarakat. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H