Tanggal 7 September 2022, akan ada peretemuan 100 ekonom di menara bank Mega. Semoga itu menjadi proposal bagi ekonomi yang getas.
Pertemuan itu bertajuk, "Normalisasi Kebijakan menuju pemulihan." Hadir di forum itu, yang dipertuankan, bapak Presiden Jokowi.
Disela-sela itu, seorang guru ekonomi fiskal, yang kebetulan mentorku di kuliah fiskal 100-pertemuan, menggerutu. Saya tak hadir, malas, ada Jokowi.
Para peserta grup langsung menyosorinya dengan pertanyaan. Apa hal? Dan tuang guru ekonomi fiskal menjawab "biar 100 ekonom itu menjadi 99 ekonom, ga jadi 100."
Semua ngakak. Saya pun terpingkal-pingkal. Selain itu, temanya masih pemulihan terus. Dus, bukankah kinerja PDB sudah lampaui level pra-pandemi?
Gelagat ekonomi kita sejatinya sudah kontraksioner. Kebijakan fiskal dan moneter ketat, saat ekonomi booming. Jadi dikatakan menuju pemulihan itu agak sumir kesannya.
Kita selalu memilih narasi-narasi yang "tautologis." Apakah itu pertanda, sebatas melegitimasi kebijakan fiskal yang teramat "Keynesian?"
Ekonomi yang bertumpu pada konsumsi, tak begitu produktif. Apalagi terjadi disrupsi produksi nasional.
Maka dalam fase ekspansi, ekonomi sejatinya bertumpu pada produksi nasional. Pada industri yang tradeable
Narasi "menuju pemulihan itu tautologies. Artinya pemerintah ga move on ! Masi situ-situ saja.
APBN mengalami obesitas, lamban menggerakan ekonomi. Karena ekonominya masih berkutat pada pemulihan.
Kalau APBN 2023 Rp.3000-an triliun, lalu kinerja ekonomi 5,3%, tak sesumbar pernyataan Menkeu, pertumbuhan 6% di tahun 2023. Entah tautologies apa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H