Scarring effect pandemic itu masih tersisa. Yang berusaha, dari mikro kecil sampai korporasi masih dalam tahap recovery. Sebagian sudah ekspansi.
Namun begitu harga BBM dikerek, apa yang disebut volatile inflation akan terjadi. Dampaknya?
Inflasi volatile, mengalami jalur transmisi ke masyarakat miskin. Mereka mengalami spending shortage ! Daya beli tergerus. Pengeluaran harian tertekan
Garis Kemiskinan (GK) referensi BPS adalah Rp505.469 perkapita/month. Atau Rp.16.305/day. Begitu daya beli tergerus di bawah GK, maka yang rentan miskin/near poor akan jeblok menjadi miskin.
Yang sudah miskin akan terjerembab menjadi miskin absolut (makan sehari pun susah). Ini sebagai dampak dari spending shortage di level grass roots.
Apakah pantas, orang dengan kemampuan mengeluarkan uang Rp.16.305/day, dikategorikan tidak miskin? Uang segini bisa untuk apa saja, saat inflasi melesat?
Memang ada bantalan subsidi yang dicover APBN. Ini untuk meng-absorb demand shock akibat kenaikan BBM.
Tapi ingat, komponen pengeluaran bukan cuma makanan sebagai essential goods. Ada aspek non makanan yang mempengaruhi pengeluaran masyarakat.
Termasuk biaya pendidikan, transportasi, bayar utang dll. Jadi bantalan Perlindsos tidak bisa menahan seutuhnya spending shortage.
World Bank merilis, harga yang volatile, akan berkontribusi 0,2% angka kemiskinan di Indonesia. Artinya kemiskinan bisa meningkat 534.000 orang.
*
Di KRL pagi tadi, saya membaca berita kekhawatiran NPL bank. Demikian juga sektor usaha yang faktor produksinya bergantung ke harga BBM.
Karena begitu daya beli tergerus, risiko NPL berpotensi meningkat. Meski insentif restrukturisasi masih ada, berpotensi membengkak. Lagi-lagi feedback-nya ke APBN juga.
Termasuk lembaga pembiyaan non bank seperti leasing tertentu. Rata-rata yang kredit motor adalah kelas menengah ke bawah.
Mereka inilah yang terkategori rentan, bila mengalami spending shortage. Apalagi tidak semua masyarakat dicover APBN melalui Perlinsos.
Sisa luka memar/scarring effect pandemi masih ada. Namun dinamika dan fluktuasi ekonomi belum melandai. Jangan biarkan lukanya membusuk.
Pemerintah perlu memutakhirkan data penerima manfaat Bansos. Agar anggaran dan penyerapaan untuk Bansos benar-benar presisi.
Tata kelola distribusi subsidi harus extra regulations. Spending better harus berdampak pada longgarnya ruang fiskal. Dengan cara itu, agar APBN tetap berperan sebagai shock absorber. Civil society pun tak lengah, mengawal pemerintah, agar on the right track !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H