Orang sudah antri bak ular, di warung gudeg Mbok Lindu. Saya pun kikuk melihatnya. Sampai sebegitunya orang Jogja kepingin gudeg.
Katanya itu gudeg paling orisinil, yang masih mempertahankan taste tradisional gudeg, sebagaimana mesti. Selain gudeg, orang merindukan dan membeli orisinalitas.
Setali tiga uang, dengan berjubel orang, wara wiri di sepanjang Malioboro hingga kraton Jogja. Hanya ingin melihat, epos--kejayaan Mataram dan artefak yang masih kokoh.
Di tengah alam demokrasi itulah, masyarakat menyingkap nostalgia pada monarki. Toh, orisinalitas keindonesiaan kita, tumbuh dari monarki, lalu dipantik oleh kolonialisme dan semangat nation state.
Bila kini orang merindukan meme Orba, "enak jaman ku toh?" pertanda, eksposur pemerintahan absolut, menjadi akar DNA kebangsaaan kita yang lahir dari monarki. Maka nostalgia padanya (monarki), adalah orisinalitas, sebagaimana orang merindukan keaslian gudeg Mbok Lindu.
Sepanjang hotel Malioboro Palace, aneka kuliner kaki lima digelar. Tak luput nasi kucing dan sate puyuh dan varian lauknya yang mendominasi.
Kendati hampir setiap warung makan menyediakan gudeg, namun gudeg mbok Lindu itulah yang digeruduk pembeli. Antre dari pukul 6-10 pagi. Hanya ingin mempertahankan taste gudeg sesungguhnya.
Hingga pukul 10, warung gudeg Mbok Lindu baru sepi. Saya melipir ke sana, dan membeli satu porsi. Ada bumbu gudeg, sambel krecek, tahu kuah, telur, plus daging ayam. Saya memilih yang komplit. Harganya Rp.56.000, untuk porsi demikian.
Sebagaimana lidah orang pesisir pada umumnya, orisinil taste saya tidak familiar dengan yang manis-manis, sementara gudeg itu taste-nya serba manis. Lagi-lagi, hanya gara-gara sensasi orisinalitas itulah, saya pun ingin membeli gudeg.
Ternyata orisinalitas itu mahal. Pasal itulah membuat orang berlibur ke Malioboro. Wara wiri dengan andong seharga Rp.150.000 sekali muter. Sepanjang itulah, kerinduan pada orisinalitas terobati, menyaksikan sisa-sisa kejayaan Mataram atau gudeg Mbok Lindu yang masih bertahan keaslian taste-nya.
***
Di seberang Malioboro Plaza, ada depot makan bernama "Pakdji." Dengan konsep lesehan, aneka kuliner dijajakan. Mata saya tertuju pada Soto Kudus.
Kami pun melipir ke Pakdji. Aneka kuliner ada disitu. Namun yang ditonjolkan Soto Kudus---sebagai brand image-nya. saya memesan satu porsi ditemani tiga buah tempe goreng. Tempenya tebal; sekitar 2 atau 3 centimeter. Makan Soto Kudus plus tempe goreng.
Soto Kudus seperti menetralisir metabolisme saya, yang hampir dua hari di Jogja, dijejali aneka kuliner yang rata-rata taste-nya manis.
Mungkin sudah menjadi ciri khas Jogja. Soto Kudus, adalah salah satu favorit saya. Di jalan Tebet Raya-Jaksel, ada Soto Kudus teranyar.
Kuah soto yang bening dan gurih, ditemani sate puyuh, atau sate ampela, perkedel dan bakwan jagung, adalah harmoni cita rasa yang sempurna.
Selain Soto Kudus, soto Lamongan di Plaza masjid Raya Sunda Kelapa-Jakpus, juga tak kalah anyar. Setiap habis Jumatan di Sunda Kelapa, saya tak pernah absen makan Soto Lamongan Sunda Kelapa.
Waktu masih di Kupang, kalau punya uang, saya tak pernah absen makan Soto Madura di terminal lama Kupang. Atau soto Lamongan di Rumah Makan Murah-Fontein. Soto, tempe dan tahu goreng, adalah padanan kuliner yang kuat di ujung lidah saya.
Ketika menemukan soto Kudus di Jogja--setelah dua hari disana, seperti "Pucuk dicinta, ulam pun tiba." Saya kembali mendapatkan sensasi kuliner, sebagaimana makan Soto di Madura atau soto Lamongan belasan tahun silam di kota Kupang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H