Saya paling dongkol membaca pandangan ekonomi tentang inflasi dengan melihat kasus orang kelas menengah ke atas dengan fixed income Rp.10 juta sd Rp.20 juta juta/bulan.
Wajarlah, mereka tak dilumat inflasi. Bagaimana dengan orang-orang kecil pekerja serabutan dengan upah harian?
Sebagai sebuah teori, contoh demikian tak masalah. Apalagi itu digunakan untuk membela sebuah rezim ekonomi. Sah-sah saja. Tapi bagi saya, ekonomi bukan sekedar teatrikal teoritis, tapi soal teori dan keberpihakan pada rakyat kecil sejak dalam pikiran.
Mbok yo kalau mengambil kasus jangan elitis! Lihat dong ke bawah. Orang-kecil dengan fixed income kecil lalu digebuk inflasi, terpenuhikah kebutuhan kilo kalori per kapita per hari atau sebesar = 2.100 kilo kalori/hari?
Inflasi bagi William E Simon, bagaikan hubungan cinta dan benci. Membenci inflasi, tapi mencintai sesuatu yang menyebabkannya.
"I continue to believe that the American people have a love-hate relationship with inflation. They hate inflation but love everything that causes it." Demikian ungkapan menteri keuangan Amerika Serikat periode 1974-1977.
Inflasi, terkadang dianggap sebagai membaiknya ekonomi (terjadi aktivitas permintaan/demand side), sebab itu ia didambakan. Namun dibenci, bila inflasi terkerek melampaui asumsi pemerintah.
Malah menjadi hantu blau ekonomi paling menakutkan. Seperti yang merasuki negara-negara utama saat ini.
Pusaran debat publik, ada pada daya beli masyarakat akibat inflasi. Apakah dengan daya beli pekerja serabutan, buruh tani, bertahan atau tergerus akibat inflasi? Di sinilah dialognya, antara inflasi daya beli rakyat kecil dan kemiskinan.
Penurunan daya Beli, salah satunya bisa dilihat dari penjualan eceran yang tergambar dari Indeks Penjualan Riil (IPR) hasil survey Bank Indonesia. Dari survei BI terbaru tentang penjualan eceran, secara bulanan, penjualan eceran turun -2,1 persen (m-to-m).