Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tumben CSIS Kritik Rezim Ekonomi Jokowi

11 Juli 2022   08:09 Diperbarui: 11 Juli 2022   08:22 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (foto : istimewa)

Dengan adanya rezim keuangan defisit tersebut, tidak membuat APBN sekonyong-konyong defisit. Namun defisit tersebut diregulasi. Tidak boleh lebih dari 3% terhadap PDB (UU 17 Th 2003 Tentang Keuangan Negara).

Semestinya, CSIS bersuara lantang dong, kala UU 17 ini di kudeta rezim Jokowi saat pandemi. Saat APBN-P 2020, dilakukan tanpa dibahas/disetujui bersama DPR hanya dengan dukungan Perpu.

Bayangkan, Perpu mendelegitimasi UUD 1945. Dimana dalam konstitusi kita meletakkan APBN sebagai "uang rakyat" dan penggunaannya harus mendapat restu rakyat; melalui DPR sebagai wakilnya. Dimana CSIS saat itu?

Tapi hal inkonstitusional itu menjadi permisif lantaran kondisi force majeure Covid-19. Oleh sebab itu, ekonomi membutuhkan pertolongan darurat. Dan berfungsi sebagai counter cyclical.

Dengan pengertian, dalam keadaan resesi, konsumsi digenjot habis-habisan, insentif diberikan ke dunia usaha (counter cyclical). Sebaliknya dalam keadaan ekonomi pulih/ekspansi, akan terjadi pengetatan fiskal (pro cyclical)

Belanja yang tinggi pada periode counter cyclical, pun dalam rangka agar APBN berfungsi sebagai shock absorbers. Jadi saat alami benturan, ekonominya tidak shock dan limbung.

Meningkatnya contingency spending dalam APBN juga merupakan bentuk kewaspadaan dini terhadap efek pandemic. Oleh sebab itu, pemerintah meningkatkan anggaran contingency melalui PEN.

Tentu saja dalam periode counter cyclical, defisit APBN melebar lebih dari 3% terhadap PDB. Perpu yang kemudian menjadi UU, menoleransi hingga 2022.

Dan tentu saja rasio utang membengkak. Bahkan sudah 41% terhadap PDB, dari sebelumnya hanya 25%. Era SBY ekonomi memang tumbuh hingga di atas 6%.

Tapi pertumbuhan tersebut tidak disertai dengan pemerataan distribusi kue ekonomi/pembangunan. Gini ratio era SBY hingga 2014, adalah 0,4 (ketimpangan sedang). Saat ini, gini ratio berada di 0,3.

Oleh sebab itu, rasio utang era Jokowi dan era sebelumnya tidak dibandingkan secara sekonyong-konyong, tapi melihat seberapa besar manfaat utang tersebut ke dalam ekonomi. Demikian pula struktur utangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun