Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Boris Johnson dan Budaya Malu Pemimpin

8 Juli 2022   16:30 Diperbarui: 9 Juli 2022   08:15 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, PM Inggris yang rambutnya suka awut-awutan itu mundur. Selain momok kelakuan genit konco satu partai Boris; Chris Pincher; yang doyan meraba-raba sesama jenis, kinerja ekonomi pemerintahan Boris Johnson memang memprihatinkan. Ekonomi negeri besutan ratu Elizabeth itu di tubir resesi.

Boris Johnson, mengingatkan kita tentang CULTURE OF SHAME para pemimpin. Sebelum Boris, Estelle Morris baru 1 tahun menjabat Secretary of State for Education and Skills di bawah kepemimpinan PM Tony Blair pada 2002. 

Morris mundur gegara merasa gagal memimpin. Brooks Newmark, menteri masyarakat Madani Inggris, mundur, gegara mengirim pesan porno.

Ada begitu banyak pemimpin, yang mundur, hanya karena punya CULTURE OF SHAME. Chiu Wen-ta, Menkes Taiwan, mundur gegara skandal makanan. Begitu juga Yoshihide Suga, Shinzo Abe, Yasuo Fukuda, Yukio Hatoyama (mantan PM Jepang). Semuanya mundur, gegara merasa gagal !

Inggris kini menghadapi periode krusial. Dari Kantor Statistik Nasional/ONS, kinerja GDP Inggris sepanjang kuartal I 2022, 0,8% (yoy). Kinerja GDP mengalami perlambatan/terkoreksi 0,5%, bila dibandingkan dengan baseline year 2021.

U.K. Manufacturing Purchasing Managers Index (PMI) pun setali tiga uang. Mengalami perlambatan. Terkoreksi 1,8 point, dari 52,8. 

Koreksi PMI index ini menggambarkan, kinerja output mengalami tekanan. Faktor inflasi energi dan pangan, menjadi penyulut, kinerja output Inggris terkoreksi cukup dalam.

Memang kinerja PDB aktual melampaui level pra-pandemi (Q4 2019= 0,5%). Namun konsensus memperkirakan, pada kuartal-2, ekonomi Inggris bisa jeblok ke pertumbuhan GDP negatif, bahkan alami resesi di kuartal berikutnya. Ekonomi Inggris masih terjebak dalam badai inflasi pangan dan energi.

Indikasi tersebut bisa dilihat dari inflasi Inggris yang tinggi, mendekati 8%. Pertumbuhan ekonomi yang jeblok 0,8% sementara inflasi meroket 7,9%, menggambarkan bahwa kinerja ekonomi dibawah pemerintahan Boris, benar-benar payah !

Pendapatan Disposable Rumah Tangga Riil (RHDI/Real Household Disposable Income) turun 0,2% pada kuartal ini --pendapatan kotor rumah tangga nominal tumbuh tetapi diimbangi inflasi rumah tangga triwulanan; ini adalah kuartal keempat berturut-turut dari pertumbuhan negatif riil dalam pendapatan yang dapat dibelanjakan.

Dari struktur inflasinya, consumer price index/CPI Inggris lebih tinggi dikontribusi oleh basket harga makanan dan minuman non-alkohol. Demikian pun Consumer Prices Index including owner occupiers housing costs (CPIH) yang menyumbang inflasi 7,9%.

Beban CPIH ini didorong oleh kebijakan moneter ketat Bank of England. Terbaru, suku bunga kebijakan BoE terkerek 25 bps dari sebelumnya 1%. Kebijakan tersebut memantik tingginya beban hidup, termasuk biaya CPIH warga Inggris.

Fenomena stagflasi ini menjadi momok bagi ekonomi Inggris. Dus, pemerintahan Boris kian terpojok, setelah kelakuan mesum Chris Pincher; sekutu Boris di Partai Konservatif Britania Raya terkuak. 

Tingginya inflasi, juga memicu kemiskinan yang diperkirakan menyentuh 30% dari total penduduk.

Konco Boris, si Pincher, terciduk telak menggerayangi dua lelaki. Kelakuan doyan sesama jenis ini, menjadi momok bagi Partai Konservatif. Dus, kelakuan inilah salah satu faktor, memantik kemunduran diri Boris dan disusul puluhan menteri kabinet Boris Johnson.

Kemunduran Boris Johnson, sebenarnya akumulasi dari kegagalan partai konservatif menahkodai pemerintahan Inggris melewati turbulensi pandemic. 

Hal tersebut dilihat dari kinerja ekonomi yang tak menampakan pemulihan berarti. Kinerja PDB yang melambat <1%, sementara inflasi meroket. 

Inggris adalah satu, dari sekian Negara, yang alami ihwal ekonomi serupa. Cuma Boris Johnson kadung disundul rasa malu yang teramat.  Wallahu'alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun