Saya menyebutnya erosi likuiditas. Artikel ini saya tulis tengah malam; pukul 02.00 WIB. Baru rampung pukul 03 lebih sedikit.
Perkiraan saya seperti headline Bisnis Indonesia hari ini. Bahwa emisi obligasi berisiko sepi. Pasca FOMC meeting, Federal Fund Rate terkerek 75 bps.
Hasil rapat FOMC itu, meleset dari konsensus pasar dan pemerintah, bahwa FFR dikerek 50 bps. Ya sudah, semua sudah terjadi. Tinggal pasang kuda-kuda, hadapi risikonya.
Impeknya, spread AS treasury yield bond dan yield bond SBN makin lebar. Semut mana yang tak tergiur oleh manisnya gula?
Inilah yang memantik terjadilah capital outflow. Terhitung Januari-Mei 2022, jumlah dana asing yang hengkang dari pasar ekuitas RI Rp.114.1 triliun.
Kalaupun SBN mau laris, tentulah mengobral yield. Kalau kita tengok Asean Bond Online, yield bond RI bertenor 5 tahun paling tinggi di kawasan Asean (>7%).
Jamaah sosmed yang budiman ! Teorinya begitu, bila risiko pasar tinggi, maka ekspektasi terhadap yield bond makin tinggi. Dus, Credit Default Swap (CDS) RI menyentuh 130.
Tingginya risiko volatilitas ekonomi, membuat pengamanan aset di derivative hedging makin tinggi pula. Itu yang tercermin di CDS. Mana ada investor mau tekor?
Keringnya pasar ekuitas RI, arus modal keluar yang kencang, akan berisiko pada depresiasi kurs, beban utang valas meningkat dan imported inflation.
Sebagai negara yang menganut rezim keuangan defisit, sebagaian besar pembiayaan APBN mengandalkan utang DN dan LN. Terutama utang obligasi.
Dampak kebijakan suku bunga The Fed, akan menyulut terkereknya kupon bond dan beban bunga utang dalam APBN akibat risiko kurs. Setiap depresiasi rupiah, akan berisiko pada beban bunga utang valas (USD).