Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Uraaa; Dari Pandemik ke Endemik

19 Mei 2022   15:16 Diperbarui: 19 Mei 2022   15:40 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas dasar tersebut, konsensus pengamat menilai, beban subsidi APBN akan membengkak menjadi di atas Rp.300 triliun. Bila pemerintah menunda; mengerek harga energi, mendekati harga keekonomian, maka beban fiskal makin berat. Ruang fiskal makin terhimpit.

Menurut simulasi Kementerian ESDM, Setiap kenaikan 1 dolar AS per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp. 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp. 2,65 triliun. Jadi, makin tinggi harga energi acuan, menyebabkan harga keekonomian energi domestik makin mahal !

Alhasil, kabar baik sektor manufaktur yang melanjutkan ekspansi pada triwulan pertama 2022, tak luput dari konsumsi energi yang besar (namun pasokan/kuota terbatas). Kendatipun windfall revenue dari surplus neraca perdagangan, diharapkan mampu mengcover beban subsidi energi. 

Namun prioritas anggaran pemerintah yang "belum fokus" menyebabkan windfall revenue dimaksud (sebagai komponen penerimaan negara), belum mampu mengkompensasi beban subsidi energi dalam APBN.  

Karena tersedot ke proyek IKN dll. Harapannya, dengan adanya policy taxation yang baru melalui UU HPP, dapat mengoptimalkan penerimaan negara sehingga ruang fiskal lebih longgar merespon kebutuhan yang darurat sifatnya

Kedua, inflasi yang menimpa negara-negara utama (developed countries) serta mitra dagang utama Indonesia, menyebabkan faktor produksi seperti bahan baku dan penolong ikut mengalami kenaikan harga. Hal ini juga menjadi pengganjal bagi ekspansi manufaktur domestik. 

Tingginya ketergantungan pada bahan baku/penolong impor pada beberapa sektor industri seperti industri farmasi dan industri makanan, sangat rentan akibat tekanan inflasi global. Akibatnya ekspansi manufaktur terganjal dan berdampak pada perlambatan output. 

Misalnya, inflasi harga pangan yang melesat, menyebabkan beberapa negara menahan ekspor komoditas pangan tertentu untuk pasokan domestik. Seperti India, yang menghentikan ekspor gandum. Hal ini akan berdampak langsung pada industri makan di Indonesia. 

Selama ini, Rusia dan Ukraina berperan 30% terhadap pasokan gandung Indonesia. Krisis Rusia-Ukraina, membuat rantai pasok gandum tersendat. Harapan Indonesia bertumpu pada gandum India. 

Alhasil, larangan ekspor gandum dari negeri Bollywood, memukul industri makanan Indonesia yang berbahan baku tepung. Hal demikian bisa juga terjadi pada faktor produksi lainnya dan berdampak pada cost push inflation akibat terganggunya rantai supply. 

Ketiga, kebijakan moneter The Fed yang cenderung ketat (hawkish),  sangat berdampak pada Indonesia. Begitu juga bank sentral di beberapa developed countries

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun