Bertubi-tubi kabar baik menghiasi halaman media pekan ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi masih di 5,01% (yoy) pada Q1-2022, kedua, Indeks manufaktur melanjutkan ekspansi, ketiga, windfall revenue (Surplus neraca dagang) paling berkilau sepanjang sejarah dan neraca pembayaran internasional BI yang tercatat surplus di Q1-2022.
Tak kalah menggembirakan, Indonesia sudah beralih dari pandemik ke Endemik. Kabar tersebut sudah diumumkan Presiden Jokowi, setelah sebelumnya, membolehkan; melepas masker di tempat umum. Uraa..! Roda ekonomi kembali bergelinding
Angin segar di atas, adalah merefleksikan, tangguhnya fundamental ekonomi, mengawali awal tahun 2022. APBN, memainkan peran penting sebagai shockbreaker menghadapi pandemic shocked. Demikianpun peran monetary policy yang masih hawkish dan pro pemulihan ekonomi.
Namun ibarat orang hendak berlari, kaki sebelahnya masih terganjal. Bila pun lari, bisa limbung atau terseok-seok. Pertama, menghadapi inflasi global. Kedua, contagion effect suku bunga dan tapering off The Fed, ketiga, fluktuasi harga pangan dan energi.
Ketiga aspek dimaksud, adalah obstacle factors yang bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi. Bila resikonya tidak dikelola dengan baik, bisa merapuhkan fundamental ekonomi. Mari kita lihat
***
Pertama, sektor manufaktur yang melanjutkan ekspansi, menggambarkan terjadi peningkatan output. Kegiatan produksi meningkat. Hal ini meniscayakan tingkat konsumsi energi yang besar sebagai komponen primer input. Sebagai negara net importir Migas, tentu ini menjadi beban fiskal--bila fluktuasi harga energi terus berlanjut.
Kebijakan menahan; menaikan harga BBM subsidi, gas Elpiji dan tarif listrik, adalah sebagai mitigasi inflasi yang trennya terus terkerek. Per April 2022, BPS merilis, inflasi umum sudah mencapai 3,47% (yoy). Meleset dari asumsi APBN 2022 sebesar 3% dengan deviasi +- 1%.
Namun kebijakan tersebut, memberikan tekanan cukup kuat terhadap APBN. Sebagai gambaran, APBN 2022, mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp.134 triliun. Dari dana ini, Rp.77,5 triliun untuk subsidi BBM dan Elpiji, dan subsidi listrik Rp.55,6 triliun.
Seiring fluktuasi harga energi, baik crude oil, gas dan batu bara yang terus melesat dari asumsi APBN, maka hal ini akan berdampak pada tekanan beban subsidi energi bagi APBN. Subsidi membengkak !