Waktu Pilkada 2020, apa salah satu alasan pokok agar pesta demokrasi itu tetap di helat? Tak lain, agar spending negara sekitar Rp.20,46 triliun untuk Pilkada, mengganjal pertumbuhan ekonomi. Itu seperti blessing and disguise.
Dana Pilkada Rp.20,46 triliun itu ikut menggenjot pengeluaran konsumsi LNPRT (Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga).
LNPRT sebagai lembaga formal maupun informal yang dibentuk atau dibiayai oleh perorangan atau kelompok masyarakat, dalam rangka menyediakan jasa pelayanan yang bersifat non komersial.
Kendatipun menurut BPS, dari sisi ini (LNPRT), kontribusinya hanya 1,30 % terhadap PDB untuk tahun 2020. Kontribusi terhadap PDB flat dari 2019. Sementara tahun 2020, laju pertumbuhannya -4,29% dari 2019 sebesar 10,62%. Terkoreksi cukup dalam.
Di sisi lain, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2020 adalah -2,63% terhadap PDB dari 2019 sebesar 5,04%.
Meskipun secara kuartalan, pertumbuhan keduanya (konsumsi LNPRT dan konsumsi RT), menunjukkan tren perbaikan, berkat berbagai program stimulus melalui dana PEN.
Nyatanya, kontraksi konsumsi LNPRT lebih tinggi dari konsumsi rumah tangga. Demikian pula kontribusi LNPRT terhadap PDB juga flat. Ini menandakan, efek ekor jas Pilkada serentak 2020 terhadap konsumsi LNPRT, demikian pula kemampuan LNPRT menggonjot pendapatan masyarakat selama Pilkada, tak efektif.
Namun Pilkada berkontribusi mengerek kasus baru Covid-19 (baca : kasus covid pasca Pilkada 2020). Sudah pasti membutuhkan recovery anggaran yang besar pula.
Bila asumsinya untuk satu kasus positif butuh spending puluhan juta rupiah untuk penanganan medis. Kontribusi minim, tambah masalah iya!
***