Sungguhpun hingga kini, setelah berbinikan orang Minang, saya belum menemukan satu riset, yang menyatakan, bahwa orang Minang tak hidup dalam perilaku ketat ashabiyah. Atau bila berpolitik, tidak dalam suatu politik aliran teramat ketat hingga engap-engap saking ketatnya.
Sejatinya, apa yang disebut Ferdinand Tonnies tentang Gemeinschaft atau communal society, itu adalah watak primordial alamiah manusia. Hidup dalam berkoloni, dan memiliki aneka karakteristik. Sesuatu yang sifatnya endogenous.
Maka seturut itu, suatu politik yang berwatak ashabiyah atau Gemeinschaft, tidak bisa tidak, hadir dalam suatu langgam politik. Dia mesti ada. Demokrasi per se, pun tidak hadir untuk meratakan ashabiyah atau Gemeinschaft secara serta merta. Tidak !
Indonesia misalkan, Pancasila sekalipun, adalah produk puncak dari watak ashabiyah dari Islam, sosialisme dan liberalisme. Pancasila mengakomodasi tiga watak ashabiyah tersebut sebagai konsepsi kebangsaan.
Maka konsepsi Wasathiyah yang lahir dari konsensus kepemimpinan profetik Rasulullah SAW dalam menata tiga pilar masyarakat di Madina, tak serta-merta menegasi watak ashabiyah atau Gemeinschaft tiga kelompok masyarakat Madinah tersebut. Tolong dicek baik-baik, jika tuan kurang percaya, apa yang saya tulis ini.
Maka apa tugas pembaharuan Islam Wasathiyah yang ditransfusi ke dalam sistem politik modern? Ya tentu mengakomodasi berbagai bentuk corak politik ashabiyah. Mencari titik cair/titik lekat, sehingga bisa hidup dalam politik secara akur dan tak saling menegasi.
Bukankah secara secara historis, konsepsi Islam Washatiyah, lahir dalam konstruksi sosial masyarakat Madina yang akomodatif? Bukankah demokrasi Pancasila, juga mengandaikan, yang sosialis, liberalis dan Islamis, bisa hidup bareng-bareng, tanpa saling menendang lutut masing-masing hingga sempoyongan sedemikian rupa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H