Bila senewen akibat alkohol, bisa ditawar dengan milk thistle. Jenis aspirin seperti Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) juga ampuh. Susu beruang juga ampuh. Bila tidak, tidur saja. Bertemu razia polisi tengah malam, pun bisa hilang mabuk seketika. Namun tak selamanya.
Masalahnya, ini mabuk politik aliran. Marx menulis tentang, Ist das Opium des Volkes, Agama itu candu. Candu manakala, hanya dipakai untuk mengkonversi kekuasaan. Kendati sudah berkuasa, kekuasaan tak digunakan sebagaimana sejatinya.
Maka politik aliran, disatu sisi adalah perihal yang endogenous---muncul begitu sanya dari watak alamiah manusia dan sisi sosialnya. Namun fatal, bila agama, menjadi salah satu pemantik, lahirnya politik aliran. Demikian pula faktor ideologi lain.
Bila senewen akibat mabuk politik aliran itu yang repot. Perasaan ecstasy bergama, tertular ke dalam sikap politik. Akan menjadi sempoyongan agama, karena dikerjai politik---kekuasaan.
Silahkan cari semacam milk thistle, atau aspirin NSAID, susu beruang, atau biarkan saja sempoyongan sendiri. Maka langkah menyadarkan orang-orang agar tak ikutan mabuk adalah, sadarkan secepat-cepatnya.
Memantik koalisi Islam menuju 2024 bukan suatu soal genting. Sah-sah saja. Tapi bila itu dibumbuhi fantasi kekuasaan yang over dosis, bisa jadi opium. Agama akan dibikin sempoyongan, bila takarannya tidak pas.
Sebagaimana awal podcast di chanel Endgame, prof Emil sudah bicara tentang bagaimana Islam di abad ke-7 dan ke-8 Masehi, yang begitu meng-influence sains secara mondial. Entah social science dan empiracl science, hingga lahirlah semacam Al Khawarizmi, Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun dan epos hause of wisdom/baitul hikmah yang gemilang itu.
Di antara kita pasti sudah ada yang tahu, dari mana sebenarnya asal muasal Aljabar, Algoritma, yang mana sungguh-sungguh itu datang dari influence Islam di masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M). Langit Eropa dicerahkan oleh saintifikasi Islam, sebelum babak belur dilumat Hulagu Khan.
Pasal itu yang membikin prof Emil sungguh-sungguh mengharapkan Islam yang sekarang, termasuk di Indonesia, bisa kembali meng-influence empirical science, social science termasuk ke dalam politik kita. Agar politik pun menjadi pilar peradaban sebagaimana sejatinya.
Terpantiklah pertanyaan, apakah Islam sekarang, cuma bertugas meng-influence politik? Sehingga membikin polarisasi masyarakatnya terjadi sedemikian partikelir? Apakah karena prof Emil orang Minang hingga dia bicara begitu?
Tempo, belasan tahun lalu, dalam kamar saya, persis di pojok masjid Nurussa'adah Kupang-NTT, seorang kawan sungguh-sungguh niat beristrikan dara Minang. Apa pasal? Hanya karena dia menganggap orang Minang tidak hidup dalam perilaku "ashabiyah" yang ketat. Atau apa yang disebut Ferdinand Tonnies sebagai Gemeinschaft atau communal society.