Kembali ke soal pendidikan. Kalau IQ nasional yang mangkrak, kenapa investasinya ke bandara Kertajati yang diutamakan. Bahkan bandara itu sungguh-sungguh sepi bagai tempat pemakaman hingga kini.
Sudah tentu pertanyaan prof Emil itu teramat dalam, karena dia pun mantan menteri Bappenas era Soeharto. Bekerja merekonstruksi Indonesia pasca negara Orla dengan huru hara ideologinya. Punya sense of crisis dan banyak makan asam garam.
Masa yang dimana dibilangnya, Indonesia itu sungguh mati telah bangkrut. Kendati tidak disadari banyak orang kala itu. Di awal Orba, tiap hari ada saja bule yang datang ke jalan Merdeka Barat, hanya untuk menagih hutangnya warisan Orla.
Bahkan kala itu, inflasi hingga di atas 600% gara-gara kebijakan printing money era Soekarno. Uang 1000 perak di-redenominasi hingga menjadi 1 perak. Hiperinflasi.
PDB perkapita Rp 5.523.863 dengan pertumbuhan ekonomi 5,47% (1961) dan 2,24% (1965) dengan tingkat inflasi di atas 600%. Sementara rasio utangnya terhadap PDB saat itu 580%. Ini belum ditambah utang warisan Hindia Belanda
Prof Emil dan rekan sejawatnya yang notabene alumni Berkeley, otaknya dipakai untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit Indonesia yang sungguh-sungguh kronis kala itu dalam masa transisi. Itu terkait sekelumit legacy Prof Emil dan kawan-kawannya.
Karena pokok soal inilah, prof Emil bertanya, sebarapa banyak sudah, lubang-lubang tambang di Papua dan Kalimantan itu, resource-nya dipakai untuk mengungkit intellectual abilities-nya anak-anak Papua dan Kalimantan?
Setidaknya kalau berlebihan resource tersebut, disubsidi juga ke NTT. Agar menteri pendidikan, tak mengulang lagi, menuding NTT sebagai biang kerok rendahnya PISA Index Indonesia.
Bukankah human capital, sebagaimana yang ditandas Gary Stanley Becker, adalah pokok penting nasib suatu bangsa? Saking pentingnya itulah, Kaisar Jepang, Hirohito, mendata berapa guru yang masih napas, kala Hiroshima dan Nagasaki lintang pukang diterjang bom atom.
Saking pentinnya pendidikan itulah, negara-negara di Semnanjung Skandinavia, secara besar-besaran melakukan investasi di bidang pendidikan. Kini, warga negara-negara Nordik itu, adalah manusia paling bahagia di muka bumi ini menurut data global happiness index.
Pemerintah Finlandia menyediakan anggaran 5.200 Euro atau sekitar Rp 70 juta untuk setiap siswa per tahun. Tingkat melek huruf di Irlandia nyaris 100%. Sepeser pun tak dipungut biaya dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Begitu juga Polandia yang investasi jor-joran di bidang pendidikan.