Tak ketinggalan Indeks literasi Indonesia yang rendah. Untuk peringkat Matematika RI di peringkat 72 dari 78 negara. Dari satu setengah dekade ini, PISA indeks RI begitu-begitu saja.
Entah apa pokok soalnya, pelajar Indonesia begitu lemahnya dalam soal matematika. Entah kurang protein atau apa dalam batok kepala. Dus, soal stunting juga menjadi soal serius sehingga menjurus pada tingkat kecerdasan rata-rata anak RI di bidang empirical science.
Disitulah prof Emil merenung-renung, kala ia melihat lubang-lubang tambang di Papua sana. Berapa sih, lubang-lubang tambang di Papua itu, resource-nya digunakan meningkatkan IQ anak-anak di Papua? Sekali lagi berapa?
Berapa sih, tambang batu bara, minyak, dan emas di Kalimantan sana, mengkonversi resource-nya dengan peningkatan IQ anak-anak di Kalimantan? Itulah yang membuatnya heran, tambang makin banyak, tapi indeks PISA tetap mangkrak.
Itu karena, resource dari pertambangan itu, tidak digunakan sebagaimana mesti, untuk meningkatkan IQ anak-anak Papua ataupun di Kalimantan termasuk dan disubsidi ke NTT. Lalu kemana?
Uangnya berputar-putar dan keluar masuk dalam mata rantai orang-orang yang sama. Yakni 20% orang yang menguasai 80% aset/kekayaan negara. Indeks Ketimpangan, menggambarkan, uang hasil tambang tidak meleleh ke bawah.
Lalu pertanyaannya, kalau indeks PISA yang rendah, kenapa pindah ibukota negara yang dibangun? Sekelas Emil salim saja bingung alang kepalang kenapa demikian. Lantas bagaimana saya? Bersambung.....
Selamat berbuka puasa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI