Kalau ada menteri atau kepala badan berjuluk Bang Jago di era pemerintahan Jokowi, maka dialah pak Bahlil Lahadalia, kepala BKPM. Bagaimana tidak jago, dari tahun 2019 dan 2020, realisasi investasi selalu lampaui target.
Jangankan dalam keadaan normal, dalam kondisi carut marut pandemic, bahkan pertumbuhan ekonomi terciut-ciut di zona negative, realisasi investasi masih sempat-sempatnya surplus dengan realisasi investasi 101%.
Dari target investasi Rp. Rp 817,2 T dan realisasinya Rp 826,3 T di tahun 2020. Tolong dicek, menteri atau kepala badan mana yang bisa begini di era Jokowi?
Sudah begitu, pak Bahlil Lahadalia ini mampu menggeser konsentrasi investasi yang selama ini ada di pulau Jawa. Dan di tahun 2020, investasi di luar Jawa mendominasi total investasi nasional. Tumbuh di atas 50%.
Terus terang, kala menulis ini, saya setengah merinding, karena berpuluh-puluh tahun, investasi itu bertumpu di pulau Jawa laksana berhala ! Atau bisa jadi merinding karena memang sungguh dingin pagi ini di Tebet.
Itu yang membikin Nusron Wahid terheran alang kepalang hingga tak puas-puasnya mencecar Bahlil dalam suatu perhelatan di gedung yang isinya anggota dewan yang terhormat. Itulah kenapa, saya mesti mendapuknya sebagai "bang Jago."
Kendatipun begitu, tersimpanlah aneka persoalan struktur investasi kita. Dari kenapa investasi portofolio yang begitu gegap gempita dalam struktur ekonomi kita. Terutama melalui foreign direct investment/FDI. Investasi padat modal lebih menggeliat ketimbang padat karya. Apa hal?
Sudah tentu soal SDM. Silahkan cek data. Problem kita adalah daya saing tenaga kerja. Dari data WEF, tiap tahun, global competitiveness index RI selalu tersuruk-suruk di bawah peer countries dari sisi SDM. Di Asean kalah dari Vietnam demikian pula Thailand.
Kalau ada relokasi industri yang melulu ke Vietnam, Thailand, Filipina atau Malaysia, maka jangan heran. Setidaknya kita sudah mafhum, apa duduk perkara Indonesia. Dengan demikian, tak perlu heran apalagi sampai seheran-herannya.
Kalau investor FDI ingin investasi di sektor pada modal, yang dia ingin adalah value added produk. Apa kuncinya? Ya tentu SDM. Makin bagus skill SDM, makin bertambah pula valued added suatu produk investasi.
Jika makin bagus value added produk, maka makin kompetitif pula harganya di pasar. Siapa yang mau kalau return on investment-nya kecil? Jujur saja, dari data bank dunia, vokasional index RI itu masih rendah dibandingkan peer countries.
Rata-rata output sektor pendidikan RI, belum mampu menjawab kebutuhan industri. Apalagi sekarang disrupsi menuju high-tech Industri. Makanya, SDM ini yang perlu dibenahi, bukan jalan beton atau pindah ibukota atau menambah kementerian/lembaga
Pasal daya saing yang rendah itulah, kenapa investor yang masuk ke RI, dia cuma ingin ber betah-betah di bisnis portofolio. Beban sedikit untung seabrek iya. Begitu mau rugi, dia tingga hengkang sebentar sambil ngintip dari luar. Begitu otoritas RI kasih micin dan gula di pasar modal, masuk lagi. Akan begitu terus hingga hari menjelang kiamat pun.
Hal lain, problem investasi kita adalah soal tak efisien. Biaya investasi mahal. Dari strukturnya, biaya investasi di Indonesia masih sangat mahal/tidak efisien. Hal tersebut bisa dilihat dari Rasio Keluaran Modal Tambahan atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih tinggi.
ICOR Indonesia dalam rentang waktu 2011-2020, di kisaran 6,8. Sementara rata-rata negara Asean di kisaran 3-4 (Sumber : BKPM). Artinya, untuk menghasilkan 1 unit output PDB, membutuhkan modal tambahan 6,3.
Faktor penyebab tingginya ICOR macam-macam, dari masalah korupsi, SDM, rantai birokrasi yang panjang dan konektivitas. Dengan demikian, meski realisasi investasi dua tahun berturut-turun tercapai atau lampaui target, namun belum mampu mendongkrak PDB secara signifikan.
Buktinya, sepanjang 2014-2019, pertumbuhan ekonomi kita mangkrak di 5% (sebelum Covid-19). Bobot investasi kita masih kecil untuk mengungkit unit output PDB/pertumbuhan ekonomi. Investasi kita secara angka, tumbuhnya manis. Sepat pun tidak.
Justru menambah kementerian malah aneh, karena problem ICOR kita salah satunya adalah panjangnya rantai birokrasi. Disitulah sarang koruptor. Saya rasa pak Jokowi pun tahu itu !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H