Persis di mulut pintu stasiun, gerobak motor tukang ketoprak terdengar menderang, tiba-tiba saja tampak terjengkang. Gerobaknya roboh ke bahu jalan, gegara menghindari wara wiri tukang ojek yang ngetem dan keluar masuk di mulut stasiun tak karuan.
Sontak, aneka pelengkap ketoprak tercecer di jalan berbalur tanah. Dari tahu Cina, toge, bihun, kerupuk, lontong, telur rebus, saos dan kecap, tumpah tergulung-gulung di tanah tak berbentuk lagi.
Persis peristiwa malang itu, belasan tukang ojek tertawa terkaing-kaing menyaksikan. Hanya satu atau dua orang yang ikut membangkitkan gerobak si tukang ketoprak dengan sedikit iba. Yang lainnya berdiri dan menonton saja, sembari melipat tangan di dada dengan nyengir yang menyembul. Entah merasa konyol, lucu atau miris.
Yang jelas, hari itu, si tukang ketoprak benar-benar apes. Malang tiada kira. Entah berapa modal yang ludes percuma. Terbayanglah, mana kala bini tukang ketoprak itu dongkol bukan main, kala lakinya pulang menggondol petaka. Untung tidak, kembali pokok juga tidak.
Manakala bininya agak galak, ia disambut dengan mencakar pinggang sembari melotot. Bibir bininya manyun disertai hidung mengkerut. Barang tentu malam nanti, bininya merengus sampai subuh. Sementara walaupun lakinya sudah kebelet dengan hajat yang tak kesampaian hingga ayam berkokok.
Dalam Novelnya 1984, George Orwell menulis satire yang tajam tentang kehidupan totalitarian dan perang. Seorang lelaki berenang dengan kepala bulatnya menyembul di permukaan air, setelah kapalnya meledak. Lelaki gempal itu berenang sebisanya. Ia dihujam senjata mesin musuh dari atas helikopter, hingga ratusan lubang pelor bersarang di tubuhnya bagai sarang lebah.
Lelaki bertubuh gempal itu hanyut. Air laut keluar masuk ke dalam lubang-lubang daging di tubuhnya. Beberapa ikan teri dan jangkang kecil ikut bersarang dalam lubang-lubang daging lelaki bule itu. Ini adegan filem.
Bukannya sedih, penonton ngakak, menertawai kematian konyol lelaki gempal itu. Dalam setiap perang, kematian dengan berbagai cara menghiasinya. Pun lelaki gempal dengan tubuh berlubang itu. Tapi sekumpulan manusia songong berduit, menertawainya sebagai tontonan berbayar. Sampai disitu harga kemanusiaan. Tak sepeserpun.
***
Di dunia politik, nestapa juga tontonan. Helplessness menjadi ignorance. Sekumpulan politisi yang dulunya juga blangsak, kini hidup ongkang-ongkang dilumur kemewahan. Di atas kursinya yang agak tinggi, mereka melihat ke bawah, sembari mencibir kawan-kawannya yang kurang beruntung yang engap-engap berjuang untuk bertahan.
Menyalahkan ini, menyalahkan itu. Kenapa begini kenapa begitu. Kalaupun ada peristiwa naas, menimpa kawan lamanya, mereka melihat ke bawah dengan mata sebelah, lalu menyalahkan. Kalaupun ada angel yang sedikit kocak, jadi bahan tertawa ramai-ramai. Dibahas bagai cerita guyon tanpa putus-putusnya agar puas hati.
Begitulah posisi kemanusiaan dalam politik, totalitarian dan perang sebagaimana novel 1984 karya George Orwell. Begitulah politik dalam pelbagai bentuknya. Barang siapa yang dirundung nestapa, bakal jadi bahan tontonan.
Satu dua orang menolong, yang lainnya tak peduli. Atau menertawai ramai-ramai persis tukang ketoprak di tepi mulut stasiun. Kekuasaan yang kecil, adalah tempat yang tinggi. Posisi yang presisi untuk menertawai yang di bawahnya. Atau mencibir. Entah sendiri atau ramai-ramai. Apa betul demikian? Entahlah. Bila tuan ikut merasakan, maka ceritakanlah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H