Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inflasi Kebodohan

22 Februari 2020   09:25 Diperbarui: 22 Februari 2020   09:29 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya renung-renung dan pikir-pikir, maka sampailah saya pada suatu kesimpulan, bahwa amat berbahaya, bila terlalu banyak orang bodoh yang nekat dalam suatu organisasi atau dimanapun. Kebodohan itu akan ditransfer secara terstruktur dan masif dalam suatu komunitas atau organisasi.

Lalu lahirlah kultur kebodohan. Kebodohan sebagai kultur, membuat suatu kobodohan ditoleransi hingga ke titik paling ekstrem atau menjadi pandir---bodoh yang bebal.

Bodoh, bukanlah suatu hereditas atau bawaan genetik. Karena memang pada kondrat-Nya tak ada orang yang bodoh. Dalam QS: Asy-Syams : 8, dijelaskan, bahwa pada diri setiap manusia itu hanya ada dua potensi secara kodrati. Yaitu _fujuraha wa taqwaha._ kefasikan---sebagai bentuk kebodohan tertinggi, dan ketakwaan sebagai puncak genialitas.

Secara sederhana, kebodohan adalah ketidakmampuan secara personal untuk memacu akal dengan proses penalaran terhadap hal-hal obyektif di luar diri manusia. Protype nabi Ibrahim as dalam mencari Tuhannya, adalah suatu proses aktifasi pikiran dalam sejarah umat manusia. Ia menemukan Tauhid sebagai puncak kecerdasan.

Jadi akal itu bukan sesuatu yang pasif, tapi harus diaktifasi, agar dia bekerja, menalari--mengabstraksi hal-hal empirik di luarnya. Mengaktifasi pikiran, adalah kerja untuk keluar dari kebodohan. Bodoh menurut KBBI itu artinya : tidak lekas mengerti. Dalam Meriam Webster disebut ; slow of mind. Rocky Gerung menyebutnya dungu---kemacetan jalan pikiran.

Kebodohan yang dipasok dalam suatu organisasi berlebih, berakibat pada inflasi kebodohan. Disebabkan oleh suplai berlebih kebodohan, sementara pasokan orang-orang yang mampu bernalar dengan baik mengalami kekurangan. Inflasi kebodohan menyebabkan organisasi harus mengeluarkan biaya lebih, untuk menekan lonjakan kebodohan ke titik stabil.   

Merawat kebodohan dalam organisasi, adalah ancaman besar bagi organisasi. Karena tidak bekerjanya pikiran. Sementara kebodohan bekerja ekstrem, mengeluarkan kerja-kerja organisasi dari kerja-kerja pikiran yang objektif. Kerja mencerdaskan adalah bentuk amal saleh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun