Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memoar Natal di Pulau Pantar

24 Desember 2019   17:36 Diperbarui: 25 Desember 2019   08:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (kiri) saat di kampung, desa Baranusa Pulau Pantar (foto @munir.doc)

Saya tinggal di pesisir pulau Pantar, kabupaten Alor-NTT. Rata-rata pesisir pulau Pantar, ada dalam pengaruh Islam dari kesultanan Tarnate-Maluku Utara.

Dalam beberapa literatur, Islam masuk ke Alor sekitar tahun 1518 M. Artefak sejarah masih tersimpan, sebagai bukti jejak sejarah Islam di Pulau Alor dan Pantar.

Ayah saya guru madrasah. Kami semua tak bersekolah di bangku sekolah umum. Dari lima bersaudara, semuanya sekolah di madrasah. Dari madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiah hingga Aliyah. Ayah saya seorang muslim taat.

Saudara-saudara saya di Pedalaman rata-rata Protestan. Termasuk om saya, sepupu sedarah dari nenek yang sama. Dalam satu darah, ada dua iman. Kami berasal dari nenek yang sama.

Sejak saya SD, tiap natal, kami selalu datang, sambangi rumah om. Kala itu belum ada alat transportasi modern. Belum ada angkot dan ojek. Ke rumah om. Jaraknya ratusan kilo meter. Lewat gunung dan lembah. Kami jalan kaki berjam-jam ke tempat om.

Setiap hari natal, kami selalu ke kampung om. Tepatnya di Latunang, desa Kalundama Pantar Barat. Demikianpun tiap lebaran, om, tante dan anak-anaknya inap di rumah kami. Kami rayakan lebaran bersama. Makan ketupat dan opor ayam.

Tiap kali natal, kami selalu bawa oleh-oleh untuk om dan keluarga. Ada roti bakar, kue cucur dan kue rambut. Juga ada beras, terigu dan gula pasir. Setiap pulang dari rumah om selepas pesta natal bersama, saya selalu dikasi ayam kampung, atau mangga kelapa kalau lagi musim.

Biasanya, dua atau tiga hari jelang Natal, ayah sudah ingatkan ibuku, bahwa hari natal akan tiba. Ibu diminta siapkan oleh-oleh untuk keluarga om. Sudah pasti bakar roti dan bikin kue cucur. Saya yang masih kecil waktu itu, masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah,  selalu bergembira bila merayakan natal bersama keluarga om.

Tak peduli jalan kaki beratus kilo meter, berjam-jam. Perasaan senang merayakan natal bersama keluarga om, menepis jarak dan lelah. Tentu juga dengan saudara-saudara saya yang juga diajak ayah ke tempat om.   

Selain om, ada juga kerabat kami di desa Maliang, tante Paulina yang beragama protestan. Tiap natal, kami juga ke rumah tante Paulina. Saya dekat sekali dengan keluarga tante Paulina. Sudah seperti saudara kandung.

Pun tiap lebaran, kak Pen, anak perempuan tante Paulina inap di rumah kami. Ia membantu ibu memasak, untuk persiapan lebatran. Tentu kalau perayaan natal, kami inap di rumah tante Paulina sehari. Jarak rumah tante Paulina juga agak jauh. Selain jalan darat, kami lebih suka menggunakan perahu ke kampung tante Paulina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun