Hanya tiga partai di Senayan yang belum menentukan siapa capresnya di 2019. Tiga partai dimaksud adalah PAN, PKB dan Demokrat. Tiga partai ini, digadang-gadang akan membentuk poros ke tiga dalam wacana pilpres 2019. Namun tiga partai ini starting dengan modal elektabilitas figur sentral yang masih amat kecil. Kendatipun demikian, selain Demokrat, PKB dan PAN dalam wacana poros ketiga, menjadi bagian menarik. Karena PKB dan PAN, memiliki daya lebih dalam diskursus magnet basis politik.
Kedua partai ini (PKB dan PAN), dianggap memiliki basis sosial yang kuat dan kelak menjadi episentrum bertemunya ceruk kelompok agama tradisionalis berbasis pedesaan dan kelas menengah ke atas berbasis perkotaan. Dalam panggung duel politik nasional, peta demografi NU dan Muhammadiyah, selalu menjadi variable penting dalam membelah basis politik aliran di Indonesia.
Setidaknya dapat dikatakan, bahwa PKB lebih mewakili akar geneologis di NU; demikianpun PAN yang akar geneologinya secara histori, tumbuh dari basis sosial Muhammadiyah diawal-awal beridirnya. Meskipun akhirnya PAN, telah bermetamorfosa menjadi partai terbuka sebagaimana tertuang dalam AD/ART partai.
Kelak, dalam diskurus ini, demokrat akan bermain pada ceruk kelompok moderat-nasionalis. Meskipun sisi ini (moderat-nasionalis); Demokrat perlahan-lahan terabrasi; seiring melemahnya kefiguran SBY.
Secara histori, poros ketiga ini, memiliki akar geneologi yang kuat, dimana PKB dan PAN pernah ada dalam kabinet SBY selama dua periode pemerintahan. Dan pada Pilkada DKI 2017, tiga partai ini pernah berkoalisi mendukung Agus-Silvie.
Namun, Demokrat yang acap bermanuver dari sisi gelap (dark side), pernah mempecundangi PKB dan PAN, dimana, saat putaran kedua pilkada DKI 2017, pasca pasangan Agus-Silvie kolaps, Demokrat memilih netral, sementara PAN dan PKB menyeberang berlawanan arah. Sikap netral ini ditempuh Demokrat, setelah SBY bertemu Jokowi pada tanggal 9 Maret 2017, pasca putaran pertama Pilkada DKI.
Sikap SBY kemudian dibaca publik sebagai menempuh jalan aman, bermain-main di sudut gelap, karena gestur istana yang lebih condong pada Ahok-Djarot. Dus, rivalitas Anies-Sandi vs Ahok-Djarot, secara makro politik, dibaca cepat-cepat sebagai bagian turunan duel KMP vs KIH atau duel Jokowi vs Prabowo (pasca 2014 dan menuju 2019). Demokrat selalu memilih berada pada sudut gelap, ketimbang secara terang-terangan menunjukkan sikap keberpihakan politik. Alih-alih netral, sikap Demokrat, justru dibaca sebagai suatu ambivalensi politik. Sebagaimana sikap ragu-ragu SBY yang acap terjadi secara jamak di setiap momentum politik yang membutuhkan ketegasan sikap.
Sebelumnya, sikap ambivalen yang sama, dilakukan Demokrat, saat terbelahnya koalisi parlemen antara KMP dan KIH. Namun dalam duel KMP vs KIH, justru Demokrat melakukan aksi ambil untung dengan menduduki jabatan di alat kelengkapan DPR. Baik pimpinan komisi maupun pimpinan DPR.
Walhasil, wacana poros ketiga ini dimulai dengan bayang-bayang sikap ambivalen Demokrat dalam beberapa koalisi politik. Bermain sendiri di kamar gelap. Dengan demikian, wacana poros ketiga sebagai pintu alternatif pencapresan 2019, adalah suatu diskursus yang getas dan masih mentah. Sama-sama saling membaca gelagat. Sama-sama masih bermain di sisi gelap. Terutama pasca AHY bertemu Jokowi di istana pada Selasa (6/3/2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H