Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menjemput Malam Lailatul Qadar

10 Juni 2017   14:44 Diperbarui: 10 Juni 2017   15:03 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjemput Malam Lailatul Qadar (Foto : Munir A.S)

Diakhir ramadan, kesadaran manusia berpuasa yang telah terperisai oleh makna lailatul qadar, sejatinya diterjemahkan kembali dalam praktek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesalehan individu yang simetris dengan kesalehan sosial dan bernegara. Pasca puasa, seorang koruptor bisa insyaf, seorang yang zalim dan suka menindas, pun bertaubat dan semakin humanis.

Malam lailatul qadar, tak hanya menyisahkan pemaknaan spiritual yang mengendap dalam kedamaian ruhiyah individu dan tak terasa secara sosial empirik. Justru, sisi kemuliaan nilai lailatul qadar, harus disingkap menjadi makna ibadah objektif dan menggerakkan kasadaran sosial untuk membela yang tertindas, mengayomi yang lemah dengan beralas pada kesadaran spiritual lailatul qadar.

Dengan kata lain, refleksi kemuliaan malam Lailatul qadar, dapat mengalami transposisi dari teks ke substansi dan dari substansi ke kesadaran sosial objektif, sebagai bagian kesadaran keimanan yang dapat dikristalisasi nilainya menjadi lebih peka dan tanggap pada kondisi sosial yang timpang.

Keimanan dimaksud, adalah yang memiliki energi gerak sosial. Keimanan yang transformatif dalam merubah struktur sosial dan negara yang despotis. Radikalisasi pemahaman ketauhidan sesungguhnya, adalah yang bermuara pada gerakan dakwah pembebasan. Titik inilah yang menjadi sentripetal amalan selama bulan puasa di bulan ramadan.

Dari keprihatinan kita pada nasib kaum mustaz'afin inilah, keimanan sesungguhnya terbangun. Dengan demikian, aspek spiritualitas malam lailatul qadar semakin objektif dan peka pada keadaan sosial di sekitarnya.  Pada sudut pandang ini, kewibawaan agama serta beragam momentum sipiritualnya dipertaruhkan, karena kedigdayaan spiritual akan memiliki makna ke-Tuhanan sekaligus kemanusiaan, jika kemanfaatannya terasa secara objektif pada beragam aspek kehidupan sosial.

Akhirnya, saya ingin mempertegas, bahwa kemampuan manusia berpuasa dan melewati malam Lailatul qadar penuh hikmat, harus simetris dengan kesadaran membangun transformasi sosial yang genuine dan humanis. Dengan demikian, berkah spiritual yang diraih pada malam lailatul qadar, tak sekedar meneguk sensasi ekstase keimanan individual, tapi secara sosial obejektif , raihan spiritual di malam lailatul qadar berdampak pada terbangunnya spiritualitas sosial. Membela yang tertindas, mengayomi yang lemah, mencerahkan yang jahiliyah. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun