Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Rindu Tanah Leluhur dan Masa-masa Kecil

9 Oktober 2016   12:08 Diperbarui: 9 Oktober 2016   12:21 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu di Baranusa NTT Pergi Ke Pasar (Foto : Munir doc)

Sejak Almarhum Ayah pergi, rumah di kampung terasa sepi. Lebaran dua tahun lalu, saya sempat pulang, tapi tak semeriah dulu; sewaktu masih ada ayah. Ayah adalah sosok yang luar biasa dalam hidup saya.

Ia mengajarkan tentang keberanian, tentang tanggung jawab. Saya bahkan bisa bertani, menjadi nelayan memperbaiki atap rumah yang bocor, dan semua pekerjaan kaum lelaki, karena berbekal keteladanan ayah yang begitu kuat dalam masa-masa pertumbuhan kami.

Sejak SD kelas dua, ayah mengajari saya cara menangkap ikan dengan “bubu.” Setiap hari sepulang sekolah, saya dan ayah menaruh bubu di pesisir Pulau Kura. Hasil tangkapan kami lumayan banyak. Sehari bisa dapat 20-30 ekor ikan.

Ayah tak menjual ikan-ikan hasil tangkapan, tapi dibagi ke para tetangga di sekitar rumah kami. Di musim tanam, tak luput kami pergi ke ladang membersihkan kebun. Hingga musim panen, ayah selalu mengajak kami bermalam di kebun menjaga padi dan jagung agar tak di makan babi hutan dan rusa.

Malam harinya, saya dan saudara-saudara sepupu menyaksikan indahnya kerlap-kerlip kunang-kunang, sembari nongkrongin jagung bakar dan api unggun. Pagi harinya kami sudah berjejal menyisir pantai pulang ke Baranusa untuk sekolah.

Sepulang sekolah, kami kembali lagi ke ladang membantu ayah dan ibu yang seharian bekerja membersihkan rumput dan mengusir hama. Kadang sepulang sekolah kami tak langsung ke ladang, tapi menghabiskan waktu bermain di laut. Atau kadang kami habiskan waktu memancing hingga jelang sore.

Seusai mancing, kami kembali ke ladang dengan hati girang bukan kepalang karena membawa beberapa ekor ikan hasil tangkapan untuk ayah dan ibu. Malam harinya ikan-ikan itu kami bakar untuk lauk menemani jagung muda rebus. Kami selalu makan mengelilingi api unggun. Sementara ayah, ibu dan paman, terlibat diskusi kecil soal persiapan panen. Begitulah masa-masa kecil bersama ayah dan ibu.

Tak kalah dengan ayah, ibu pun sosok yang ulet. Supaya kami berlima menjadi sarjana, belasan tahun tangan ibu melepuh mengayuh perahu dari Baranusa-Maliang pulang-pergi (PP) setiap hari senin untuk berdagang sembako.

Pukul empat pagi, ibu dengan perahu kecilnya sudah penuh dengan muatan sembako. Kira-kira hampir satu setengah jam, ibu mengayuh perahu sendiri ke Maliang. Sampai di sana, ibu menggelar jualan sembako dan akan kembali ke Baranusa sekitar pukul 12 siang.

Jam-jam itu cuaca laut mulai tak bersahabat. Yang jelas, sekembali dari pasar, ibu pasti menerjang gelombang, terpaan angin dan di bawah terik panas menyengat. Selama bertahun-tahun sejak kami SD hingga sarjana, tangan ibu terus mengayuh sampan kecilnya dengan peluh dan semangat yang tak putus, agar kami bisa meraih secarik kertas yang menganugerahi kami sebagai seorang sarjana. Itulah satu-satunya kebanggaan ibu.

Kadang saya selalu berfikir, bahwa gelar sarjana kami teramat mahal. Kami meraih semua ini di atas keringat seorang ayah yang tak pernah berhenti berjemur panas di ladang dan seorang ibu setengah baja yang tak lekang di hadang gelombang dan badai.

Di tengah-tengah budaya patriarki masyarakat NTT kuat, daya juang dan Survivalitas kaum ibu, adalah epos yang kadang lupa direkam. Betapa ibu-ibu di kampung kami di NTT adalah wanita yang perkasa. Mereka mengambil air pagi hari ke kali, mengumpulkan kayu bakar, membersihkan kebun, menyiapkan makanan untuk anak-anak dan suami; bahkan membersihkan ladang hingga mengais rejeki berdagang sembako sekedar membantu suami agar asap dapur tetap mengepul.  

Sejak kepergian Ayah, rumah terasa sepi. Kini ibu sendiri di rumah. Kadang suka gundah kalau tak sempat pulang berlebaran bersamanya. Ibu selalu menguatkan, kalau saya sampaikan belum bisa pulang kampung karena banyak hal. “Kalau kamu tak bisa pulang, kirim saja doa, agar ibu selalu sehat dan bisa lihat kamu nanti jadi orang besar.” Ibu selalu menyampaikan ini dengan nada suara sedikit sedih. Saya selalu dihujam kerinduan setiap lebaran, agar bisa kembali ke tanah leluhur. Tempat kami tumbuh besar, berlari di atas debu merah tanah baranusa, atau tangan kecil kami yang pernah mengayuh teduhnya nya laut teluk Baranusa.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun