Kadang, kita merasa hari raya kurban hanya berputar-putar di soal orang-orang memperbaiki protein hewaninya setiap tahun. Lantas begitu riuhnya orang-orang membicarakan soal harga kambing atau sapi dan juga arang pembakar sate dan aneka bumbu gulai kambing. Hari raya kurban bukan hari kuliner seantero dunia.
Ujung-ujungnya setelah kurban, klinik di desa hingga Puskesmas di Kecamatan disesaki warga yang mengeluh diare alias mencret karena kelebihan makan sate pun gulai kambing. Yang paling menderita adalah, mereka yang punya darah tinggi, tapi ngotot makan sate dan gulai kambing di hari raya kurban. Tak sedikit dari mereka ini yang terserang kolesterol jahat, hingga akhirnya struk dan tepar pasca hari raya kurban.
Hari raya kurban juga acap memperlihatkan demonstrasi kekurangan daging warga. Bahkan dua tahun lalu, ribuan orang rela antre dan terinjak-injak hanya karena ingin mendapatkan kupon daging pasca lebaran Idul Adha. Mencret, tekanan darah tinggi dan struk hingga terinjak-injak saat mengantre kupon daging, adalah anomali yang tiap tahunnya menjadi momok Idul Adha. Lantas; tontonan-tontonan itu, membonsai nilai-nilai keperibadatan atau spiritualitas yang ada dalam pesan simbol hewan kurban dan tentu makna haji bagi mereka yang menjalankannya.
Dua pesan yang nyatanya semakin tererosi oleh egoisme sosial yang marak di tengah-tengah kita. Baik negara yang ego terhadap rakyat kecil demi pembangunan, pun struktur sosial tertentu yang ego dan menelantarkan kelompok pinggiran yang hidup dalam kemelaratan di sekitarnya.
Jomplangnya jarak orang kaya dan miskin,rakyat kecil yang kehilangan sumber mata pencaharian akibat digusur, adalah tontonan kolektif yang menggambarkan keringnya watak pengorbanan negara atau pun penguasa. Justru orang-orang kecil itu menjadi 'kurban' demi keserakahan pembangunan.
Pesan Simbol
Ada dua pesan penting yang mestinya kita urai dari hari raya kurban. Pertama; hari raya kurban adalah suatu pesan kenabian yang ditransmisikan Allah melalui sifat kerelaan Nabi Ibrahim AS yang melalui mimpinya, di mana ia diperintahkan Allah untuk menyembelih putra semata wayangnya Ismail, dari istri keduanya Siti Hajar.
Ibrahim dalam perintah Allah itu, berada dalam suatu gejolak kebatinan yang sulit kita gambarkan dengan nalar manusia biasa. Namun begitu kuatnya sifat kenabian dalam dirinya, akhirnya ia tunduk pada perintah Allah dan tenggelam dalam kepasrahan dan kerelaan (ikhlas), sebagai ultimate dari penghambaan dirinya pada Allah.
Karena watak kerelaan itulah, Allah kemudian menggantikan Ismail dengan seekor domba yang kemudian dikurbankan. Jadi, hari raya kurban sesungguhnya adalah suatu refleksi historis dalam mengurai pesan simbol pengorbanan Ibrahim AS untuk menunjukkan watak penghambaannya kepada Allah.
Pesan sosialnya adalah, sifat kerelaan itu menjadi kesadaran komunal setiap muslim yang termanivestasi dalam diri setiap individu dalam suatu masyarakat sebagai kesadaran kolektif dalam membangun spiritualitas sosial. Tentu watak spiritualitas sosial dimaksud adalah, terciptanya masyarakat yang rukun, damai dan sejahtera sebagai konsekuensi sifat kerelaan sebagaimana peristiwa kerelaan nabi Ibrahim.
Kedua: hari raya kurban atau pun bulan haji, juga menjadi pesan simbol yang begitu kuat mengingatkan manusia pada kematian. Wukuf di Arafah sebagai rangkaian penting ibadah haji dengan cuma menggunakan pakaian ihram, adalah revolusi kematian yang mendorong umat muslim menembus masa depannya di alam kubur.
Pakaian ihram yang layaknya kain kafan, adalah suatu terapi kesadaran spiritual, agar umat Islam senantiasa ingat, bahwa ujung dari segala kemegahan duniawi adalah kematian; di mana tiada suatu apapun yang dibawanya ke kubur terkecuali kain kafan dan amalnya selama hidup.
Kesadaran demikian kemudian membuat setiap umat Islam yang berhaji, sadar, bahwa betapa pentingnya amal kebaikan yang perlu ia investasikan selama di dunia. Sebagai dampaknya, sekembalinya dari ibadah haji, yang tadinya culas, bengis dan kejam menjadi ramah dan mengasihi dan yang tadinya kikir, bakhil, pelit bin medit menjadi dermawan dan penyantun. Demikian pun yang korup, tamak, serakah dan loba menjadi lebih jujur dan tidak merampas hak orang lain. Itulah pesan simbol dari hari raya kurban sesungguhnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H