Sejak punya sepasang buntut, seperti ada kesepakatan tak tertulis, atau itu entah karena saya sadar pentingnya berbagi peran (suami-istri). Kini, saya bertugas keluar-masuk pasar membeli aneka sayur-mayur dan lauk-pauk. Menabrak aneka aroma, dari comberan pasar yang menyengat, hingga aroma bumbu jadi yang menohok hidung. Di lorong-lorong sempit, bersenggolan dengan ibu-ibu, dari bau balsem hingga aroma bumbu dapur yang masih melekat setelah tawar-menawar harga dengan penjual yang keras kepala menghela harga bumbu dapur. Beberapa ibu-ibu terlihat manis, dengan rambut nampak sembab habis keramas, setelah semalaman, mungkin dikerjai suaminya.
Hari ini Sabtu 4 Juni 2016, saya ke pasar Palmerian-Jakarta Timur, hendak membeli persiapan puasa; ikan, sayur, tempe serta rekan sejawat lauk-pauk lainnya. Umumnya sebuah pasar, saya diantara mayoritas jamaah ibu-ibu. Tak urung hari ini, berjibaku ibu-ibu itu nyinyir di setiap lapak lauk-pauk, menyoal harga kebutuhan dapur yang menanjak mahal dua hari menjelang bulan ramadan.
Dengan aneka gestur tervisual di lapak-lapak pasar Palmerian-Jakarta Timur. Dengan gestur, Ibu-ibu itu seperti mendemo harga pangan menjelang ramadan. Tapi salah tempat, karena di pasar. Ada ibu yang hidungnya merekah, kembang-kempis ketika tahu harga tomat yang amit-amit mahalnya; dari Rp.5000 menjadi Rp.20.000. Di lapak daging, harga daging sapi menembus Rp.130.000 dari sebelumnya Rp.80.000, membikin seorang ibu menggaruk-garuk kepalanya sembari menghela nafas dengan bola mata melebar seperti mau sekarat, hingga ikat rambutnya copot dan jatuh ke lantai.
Pipi si ibu yang merah berlapis bedak tebal, terlihat membengkak dengan dua bibir manyun menukik, nyaris menyentuh dua lubang hidungnya. Tak tahu siapa yang dimarahi. Jelasnya, si ibu itu punya protes yang diunjuk melalui gerak gestur wajah. Mana paham Jokowi, atau menteri perdagangan dengan politik gestur para ibu-ibu nyinyir ini. Menteri perdagangan Thomas Lembong yang harum nan rapih, tamatan kampus kelas kakap Harvard University dengan rambut tersisir belah samping, mana mau tahu dengan bahasa tubuh ibu-ibu di pasar yang aroma sampahnya mengulik hidung dan seisi lambung.
Lonjakan inflasi yang diakibatkan oleh komponen pangan (volatile food) menjelang bulan Ramadhan, adalah peristiwa yang sering terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan menjadi ritual tahunan. Menjelang bulan Ramadan 2016, Bank Indonesia (BI) melalui Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara memperkirakan inflasi akibat harga pangan (pada Ramadan 2016) dipastikan akan meningkat menjelang Ramadhan.
Salah satu penyebab meningkatnya harga pangan adalah, akibat tersumbatnya jalur distribusi dan akibat suplai bahan pangan yang dimainkan oleh suplayer nakal yang mengakibatkan terjadi kelangkaan di pasar dan menyebabkan harga kebutuhan pangan pokok tertentu terkerek mahal di setiap Ramadan.
Untuk Ramadan 2016 misalkan, satu minggu menjelang Ramadan (6 Juni 2016), harga komponen daging melonjak mahal. Hingga hari ini, harga daging sapi kualitas super di Tuban-Jatim naik menjadi Rp110 ribu/kg dari harga sebelumnya Rp90 ribu/kg atau naik Rp20.000/kg. Sementara daging sapi kualitas sedang, kini dibanderol dengan harga Rp95.000/kg. Padahal, sepekan sebelumnya hanya berkisar Rp80.000/kg. Sementara ayam potong yang sebelumnya Rp20.000/kg, menjadi Rp31.000/kg. Sedangkan daging ayam kampung, yang awalnya Rp43.000/kg menjadi Rp49.000/kg (Data rilis : Sindo News 23 Mei 2016).
Di Jakarta dan Bandung, harga daging sapi sudah menembus angka Rp130 ribu-Rp135 ribu per kilogram, setelah sebelumnya harganya ada di level Rp110 ribu per kilogram. Begitu juga disejumlah kota besar lainnya. Hal ini bertolak belakang dengan janji Presiden RI Joko Widodo bahwa ia menjamin menjelang Ramadan harga daging murah hingga Rp.70.000 per kg.
Kendatipun demikian, harga daging sapi di dua negara tetangga; Malaysia dan Singapura jauh lebih murah, yakni Rp.Rp.50-60 ribu. Komponen pangan lain yang juga mulai terkerek harganya adalah bawang merah yang kini dijual per kg R.50 ribu. Dari sebelumnya Rp.20 ribu per kg. Tomat dari Rp.5000 per kg dan kini menjadi Rp.20 ribu per kg di Pasar Kemisi Rawa Buaya Jakarta Barat. Demikian pun harga komponen pangan lain yang mulai mahal menjelang Ramadan yang jatuh pada 6 Juni 2016.
Khusus harga daging sapi misalnya, sebenarnya terdapat tiga permasalahan utama yang hingga kini tak bisa diselesaikan, atau memang sengaja didiamkan oleh pemerintah. Yang pertama, terkait dengan tata niaga atau pola distribusi daging sapi yang tidak pernah merata di setiap daerah."Soal tata niaga ini, ada daerah yang merupakan penghasil sapi terbesar di Indonesia, akan tetapi pemerintah tak bisa mendistribusikannya ke daerah lain dengan cukup baik. Dimana daerah itu bukan penghasil, tapi membutuhkan pasokan cukup banyak.
Persoalan kedua, pemerintah tidak pernah bisa mewujudkan cita-citanya yang hendak memperbanyak kuantitas produksi sapi lokal. Dan yang ketiga, dugaan adanya oknum nakal yang menyimpan pasokan daging sapi pun tak pernah selesai tuntas. Padahal, dugaan tersebut kerap dimunculkan jika harga daging sapi melambung. Jangan-jangan pemerintah sengaja memelihara, untuk dijadikan sebagai alasan melakukan impor lagi? Jadi tiga permasalahan tadi pantas saja memang seperti berlarut-larut.