Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Novanto dan Ranting-ranting Beringin Tua yang Berguguran

18 Mei 2016   09:42 Diperbarui: 18 Mei 2016   16:10 3099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nasional.kompas.com

Syahdan di musim pemilu 1987, di seberang Timur sana, persis di sebuah pelosok desa, ada seorang pemuda kampung yang nekat, memakai kaos berlukis seorang petani, keluar dari pintu ka’bah, lantas menghela sabit menebang pohon beringin hingga tumbang. Di bagian depan kaos si pemuda, terlukis seekor banteng besar, menyeruduk beringin, hingga tumbang seakar-akarnya.

Si pemuda ditangkap hansip dan Kamra. Diinterogasi hingga disiksa koramil babak belur. Itulah nasib pemuda kampung idealis itu, akibat nekat melakukan perlawanan grafis terhadap dominasi Golkar kala itu. Si pemuda kampung lulusan SMA itu, tak bisa jadi PNS. Berkali-kali test CPNS, selalu jatuh di wawancara litsus. Distigma macam-macam; hingga turunan PKI. Itu dulu. Dulu sekali.  

Begitu pun kala kampanye di tahun-tahun itu, PPP dan PDI selalu kehilangan jatah klaim pembangunan desa, hanya kerena sebuah lagu berjudul anak kambing. Di mana-mana anak kambing saya, anak kambing saya ada di nomor dua (2). Nomor Golkar kala itu. Namun sebelum bernyanyi, rakyat selalu diingatkan, pelabuhan di desa punya Golkar, dan Kantor Pos punya Golkar. Kebetulan waktu itu, satu-satunya bangunan pemerintah paling bagus di kampung adalah kantor pos. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Jadi setelah lagu anak kambing itu, giliran PPP dan PDI kampanye, mereka kehabisan jatah klaim pembangunan. Jangan sampai kedua partai ini berpidato agitatif melawan Golkar. Bisa dicap subversif. Tapi itu dulu. Dulu sekali.

Nah sekarang tak perlu melakukan perlawanan grafis. Tak perlu khawatir lagu anak kambing dan yel-yel masa lalu itu. Tak dinyana, beringin tua mulai berguguran. Sejurus kekokohan yang termakan usia, akar-akar absorbsi beringin tak mampu lagi menyerap unsur nitrogen dari alam (tanah). Kadar asam basah yang tinggi dari hujan politik, membuat nutrisi untuk si beringin tua tak lagi sebaik dulu. Pun fotosintesis yang tak lagi maksimal, memberikan makanan dan respirasi bagi si beringin tua. Beringin tua lebih sering melepaskan carbon politik, dari pada memberikan oksigen. Alam sekitar pun terganggu metabolismenya.  

Tak dinyana, dari akar hingga pucuk, nampak pucat-pasih. Dahan-dahan mulai getas. Ranting-ranting mulai mengering, daun-daun mulai berguguran ke tanah. Beringin tua tak lagi rindang. Politik jam 12 siang yang panas dan mendidih, kini langsung menyengat ubun-ubun. Seiring itu, rayap dan ulat bulu, menggerogoti dari pucuk hingga ke akar.

Beringin rapuh, dan rentan roboh di musim kemarau politik. Memang dulu, beringin menawarkan dahan dan daun yang rindang, meski di sekitarnya diancam lebah penyengat nan kejam, dan si tukang kebun yang represif dan diktator. Namun tak ada pilihan, karena nyaris rakyat Indonesia dipaksa berteduh bila hujan, disiangi bila panas di bawah beringin tua itu. Tapi itu dulu, dulu sekali.  

Pasca Pilpres 2014, beringin tua diterjang badai politik. Beringin tua nyaris tumbang terbelah. Cuma di akarnya masih melekat dan mencakar tanah. Maklumlah 32 tahun beringin dikuatkan pupuk kekuasaan. Beringin tetap bertahan, meski tak lagi serindang dulu. Tapi tak sedikit rakyat Indonesia seperti saya, berharap cemas, agar beringin tetap rindang, seiring paradigma baru yang pernah dicetus Akbar Tanjung, 'Golkar Baru' di pemilu 1999.

Terpilihnya Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar pasca konflik terbelahnya Golkar, memantik semua orang mengkhawatirkan masa depan partai berlambang beringin itu. Ini cuma soal begitu banyak bercak yang melekat pada mantan ketua DPR RI yang digulingkan paksa akibat skandal 'papa minta saham'.

Kelak Golkar begitu sulit melepaskan misteri 'Bos Besar' dalam beberapa skandal dugaan korupsi hingga teranyer skandal 'papa minta saham'. Golkar seperti tersandera figur Novanto yang dirundung ragam soal dan misteri dugaan korupsi. Ibarat baju yang terkena noda. Golkar membutuhkan deterjen lebih, untuk melepaskan lekatan noda Novanto dengan sejumlah soal yang dipikulnya ke Golkar.

Secara politik, tak sedikit partai-partai kecil, partai tengah dan yang baru orbit, menepuk tangan 'hore', karena tak sulit melawan Golkar kelak di Pemilu 2019. Branded Novanto sebagai politisi, di mass media dan lini massa, begitu sulit dipaksapositifkan. Memori publik soal Novanto, dalam berupa-rupa skandal dan teranyer 'papa minta saham', adalah beban politik cukup berat bagi mesin politik Golkar.

"Di era demokrasi dengan market politik digital, branding image itu betapa pentingnya. Dan dalam soal ini, Novanto punya soal terberat 'branding image'." Era market politik digital, branding image Novanto yang negatif, telah masuk ke lorong-lorong kampung, ke pasar hingga para ibu rumah tangga. Misalnya, 'papa minta saham' adalah meme soal Novanto yang begitu sulit dihapus dari memori publik. Betapa kasus divestasi saham PT Freeport itu, telah menguliti Novanto hingga daging dan tulangnya.  

Kini di tangan Novanto, beringin tua itu hendak ditopang. Tak sedikit orang di sekitar Novanto, tapi mereka cuma berteduh di bawah beringin tua. Tak pelak, banyak juga yang menarik kaki, baju dan menggelitik Novanto. Amit-amit, bila sewaktu-waktu beringin tua itu tanggal akibat kaki dan tangan Novanto yang keropos pula.

Di tengah rasa cemas politik itu, sejenak ada yang bergumam, kalau-kalau melalui tangan Luhut Golkar diadu, antara JK dan AT Vs ARB dan Luhut. Menjadikan Novanto sebagai ketua umum Golkar dengan sejumlah soal yang melilitnya, adalah cara menumbangkan beringin tua dengan tangan kadernya sendiri. Atau mengandangkan Golkar sekalian, dalam pusaran kekuasaan. Itu pun kalau Golkar tak nakal, apalagi usil. Bukan Golkar namanya, kalau tak pandai mengayun bandul politik. Bisa saja permainan dikendalikan kakak tertua itu; Golkar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun