Ahok perlu tahu, bahwa yang paling tinggi dari sebuah aturan adalah kebijaksanaan (wisdom). Ahok tak perlu melakukan terror verbal mengatas namakan aturan. Aturan ditegakkan dengan prosedural. Ada etika dan leadership untuk menegakkan aturan. Sebelumnya pada 13 Februari 2014, kekerasan verbal serupa dilakukan Ahok terhadap seorang guru honorer hingga pingasan. Kekerasan verbal berantai oleh Ahok yang acapkali dipertontonkan ke hadapan publik Jakarta dan senatero Indonesia, adalah suatu “kondisi abnormal.” Ahok, keculasan dan amarahnya itu, khawatirnya akan mengonstruksi masyarakat Jakarta, bahwa marah, memaki-maki adalah bagian dari cara membangun. Meskipun dengannya, kesadaran etik tak lagi menjadi syarat mutlak kemanusiaan.
Jika kita amati, dengan perangai Ahok, mungkinkah ia mengalami : agresif impulsive? Dalam ilmu psikologi (Baca : Amarah dan Gangguan Jiwa), gangguan mental organik biasanya dalam bentuk Intermiten Explosive disorder (IED). Salah satu bentuk amarah, yang ditandai adanya ledakan amarah yang tiba-tiba, ditampung dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai Intermiten Explosive disorder (IED). Sangat sedikit hal yang diketahui dari IED.
Seseorang terdiagnosa sebagai IED bila setidaknya mengalami 3 kali episode agresi impulsif, yang secara umum berlebihan/tidak proporsional menurut pemicunya ("grossly out of proportion to any precipitating psychosocial stressor,"). Orang tersebut mengalami kehilangan kendali yang tiba-tiba, sehingga merusak atau menyakiti orang. Diagnosa gangguan IED seringkali bertumpang tindih dengan gangguan afektif bipolar, gangguan kepribadian dengan impulsifitas, misalnya kepribadian antisosial dan borderline. Catatan saya, semoga gubernur kita, tidak terkategori dalam diagnose kelainan seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H