Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Memelas, Ahok di Ujung Tanduk?

8 Maret 2016   08:47 Diperbarui: 8 Maret 2016   08:57 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dulu Pilgub DKI 2012, paket Jokowi-Ahok adalah simulasi gagalnya politik agama dalam praksis demokrasi Indonesia. Apalagi Jakarta sebagai miniatur demokrasi Indonesia. Pilgub DKI 2012 adalah sebuah simulasi demokrasi yang memberikan kesimpulan, bahwa pengaplingan agama, tak lagi berdaya mempengaruhi pilihan politik rakyat. Atawa bisa jadi, agama dan keimanan privat telah bergeser ke agama dan keimanan publik, yang meyakini bahwa figur yang bersih, tak korup adalah inti doktrin dari agama, bukan kesalehan simbolik yang dipagari identitas agama dalam KTP atau berbagai corak dan langgam yang mengandaikan copy-paste prilaku agama; klaim paling benar.

Menariknya adalah; kini Ahok mencoba peruntungan baru, meng-engine simulasi “demokrasi tanpa partai.” Ibarat sebuah pleton perang, kalau simulasi Ahok dan teman Ahok ini sukses, maka partai-partai, siap mundur, melambaikan dua tangan melewati dua daun telinganya dan angkat bendera putih dari medan demokrasi; karena kemenangan Ahok tanpa partai politik kelak, akan menghela keyakinan rakyat; bahwa partai tak lagi penting dalam sistem demokrasi.

Demokrasi langsung akan menemukan postur aslinya, dan partai politik cumalah sebagai pelengkap penderita; melengkapi UUD 1945. Ada pun tak menguntungkan, tiada pun tak merugikan; bahkan separuh orang sinis dan bilang “justru merugikan dari praktek busuk parpol selama ini.”

Saya terenyuh ketika membaca komentar Ahok di salah satu berita Kompas Edisi 7 Maret 2016 berjudul : Putuskan Maju di Jalur Independen, Nasib Ahok di Ujung Tanduk (baca : Putuskan Maju di Jalur Independen, Nasib Ahok di Ujung Tanduk). Dalam komentarnya di Kompas, Ahok naga-naganya makin tak PD maju lewat jalur independen. Dari judul berita itu, tak serta-merta membuat saya larut dalam ke-ter-enyuhan, tapi lantas bertanya, apakah Ahok lagi galau atau ini ilmu lama; cara Ahok memantik empati publik? Tapi jika ini benar-benar kegalauan Ahok, mestinya tak perlu Ahok demonstrasikan di media. Nanti ada partai yang merasa paling berjasa, karena telah datang menjawab kegundahan Ahok.

Kendatipun begitu, Ahok dan teman Ahok harus konsisten, jangan sampai kemudian tersandera oleh suasana, apalagi kelak tersandera oleh parpol. Para Teman Ahok harus kerja keras, bila perlu kaki di atas tangan di bawah. Peras keringat banting tulang. Ini menyangkut adagium lama di Amerika sono “kaga ade makan siang gratis cang.” Dukungan partai selalu linier dengan harapan mereguk insentif politik, maukah Ahok begitu? Diatur-atur Surya Paloh, Mega, Puan atau ARB? Kalau mau yah wes pergi sono…mulut partai sudah menganga, tinggal menelan anda Hok.

Ahok yang keras kepala dan tukang lawan nomor sepatu itu pasti menolak diatur, dan bakal frontal melawan bila tak sesuai dengan isi dompet, ups…maksudnya isi hati dan kepalanya. Ahok sangat rasional dalam memimpin, bahkan sakin rasionalnya. Tentu, Ahok tak bisa bertahan dalam atmosfer politik yang masih tersusun atas kelas-kelas patron-klien. Ahok pasti “ga tahaaaannn…”

Apalagi feodalisme dalam sistem parpol kita masih mengakar kuat. Ahok tak bisa tahan badan dengan budaya setoran yang endemik di parpol. Pertanyaan begini Hok, kamu mau jabatan? Wani piro? Begitulah kira-kira simulasi saya. Ini cuma contoh dari yang sudah-sudah. Memang begitu Hok kalau mau berkuasa, kalau tidak, partai mau berlangsung dengan tenaga apa? Syukur-sykur partai NASDEM buang badan gratis ke Ahok. Demokrasi itu mahal, dan sudah pasti soal dukung mendukung itu selalu ada alat konversinya. Kembali ke Adagium tadi “kaga ade makan siang gratis.”  

Ahok ini pasukan berani mati, semoga tidak mati konyol atau jadi umpan peluru atau masuk dalam jebakan nyaman parpol. Tentu cara Ahok mengais peruntungan demokrasi tanpa partai ini perlu diancungi jempol, dari dua jempol tangan, hingga dua jempol kaki. Saya jujur, kadang saya suka dan kadang juga tak suka dengan sikap dan watak (individu) Ahok. Itu wajar dan manusiawi. Kesukaan saya adalah pada sikap Ahok sebagai laki-laki tulen. Tak ada takut-takutnya. Sekali maju pantang mundur. Sekali tanpa partai, tanpa partai selamanya. Jangan sampai belakangan nanti, Ahok memelas minta dukungan partai, itu namanya “menjilat kembali ludah yang sudah di buang.” Mau begitu ya wes sono !

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun