Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tradisi Maulid Nabi di Jorong Gantiang

11 Januari 2016   17:16 Diperbarui: 11 Januari 2016   17:27 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu emak mertua dan ibu-ibu famili istri sibuk di dapur. Mereka menyiapkan maulid besok di rumah mertua. Ada yang mengulik bumbu dan memarut kelapa. Pokoknya di tangan mereka ada pekerjaan dapur. Uap masakan, dan hawa dingin di Jorong Gantiang menembus ruang tamu. Tak luput tumpukan durian di teras rumah mertua, menebar perang aroma. Ada aroma durian, gulai dan rendang kambing serta aneka sambal yang menerobos indera pencium kami di ruang depan.  

Si Emak bilang, besok ada maulid di rumah. Ini suatu yang tak biasa. Yang saya tahu, maulid biasanya diadakan di majid, kantor atau di sekolah. Bukan di rumah penduduk. Namun kali ini, informasi si Emak benar-benar memompa rasa penasaran. Maulid di kampung saya Baranusa-NTT, perayaan maulid standar saja. Diawali pembacaan ayat suci Al qur’an, ceramah tentang kelahiran Nabi, makan-makan dan bubar.

Berbeda dengan kampung ku di pelosok NTT, maulid di Jorong Gantiang-Tanah Datar, adalah momentum puji-pujian kepada nabi Muhammad dan bersyukur atas hasil panen. Kekuatan tradisi Minang begitu kental dalam rangkaian acara maulid, terutama pada syair-syair salawatan. Informasi ini saya dapatkan dari istri yang berdarah Minang sebelum kami libur ke kampung halamannya. "Bang, kalau mau berlibur di musim maulid saja, nanti abang akan mendapat banyak hal di momen maulid nabi." Begitu kata istriku. 

Rasa penasaran pada Maulid tertunda hingga besok hari. Kira-kira pukul delapan lebih sedikit, para tetamu sudah ada di rumah mertua. Ibu-ibu sibuk menanak nasi, dan memindahkan lauk-pauk dari kuali ke piring. Kepulan asap dapur menembus ruang tamu.

Kepulan asap membawa aroma sambal pete, rendang dan gulai kambing mengusik hidung. Rasa lapar dan penasaran tentang maulid beraduk jadi satu. Tak berapa lama kemudian, bapak-bapak itu mendendangkan salawat saling bersahutan.

Ada syair Arab bercampur Minang. Mereka bergantian melagukannya. Ada suara fals, merdu dan cempreng jadi satu. Saya tak tahu persis arti kata-perkata yang didendangkan. Sekilas bisa ditangkap, alunan salawat berisi pujian pada nabi Muhammad saw.

Selawatan ini dimulai dari pukul 8.00. Hingga pukul 11.30, bapak-bapak itu istirahat sejenak mencicipisnek. Setelah itu, salawat maulid dilanjutkan. Tak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduk. Saya yang tak biasa duduk lama-lama, akhirnya tepar juga ke kamar tidur.

Acara selawat baru selesai pukul 13 lebih sedikit. Acara selawatan di akhiri dengan sepata dua kata dari kepala suku Jambak Batino (nama suku dari keluarga istri saya). Saya berusaha memahami dialog antara kepala suku dan wakil pemuka agama Jorong Gantiang.

Intinya mereka saling meminta berkah dari acara maulid ini. Setelah dialog usai, ibu-ibu di dapur pun menyajikan hidangan. Sudah pasti aneka kuliner khas Minang. Acara makan-makan di mulai. Makanan disajikan dalam dulang dengan berbagai rupa lauk serba santan dan cabe. Para tetamu mengambil satu demi satu lauk yang disajikan.

Di Minang ada etika saat makan. Diacara-acara seperti maulid ini, sebelum makan selalu didahulukan dengan pidato; sekato dua kato. Saat makan, lauk yang enak disantap diakhir. Makanan yang didahulukan biasanya kuah dan sayur. Daging, ikan dan lauk-lauk enak lainya secara berangsur diambil kemudian diakhir.

Kebiasaan makan di Minang dikenal dengan batambua, artinya kebiasaan menambah. Oleh sebab itu saat awal makan, nasi diambil sedikit-sedikit. Para tetamu yang datang pun biasanya duduk di sudut ruangan. Sedangkan tuan rumah duduknya dekat pintu ke arah dapur. Seusai makan, etikanya para tamu dipersilahkan lebih dulu mencuci tangan. Filosofinya; menjaga etika dengan para tetamu. Kalau tuan rumah lebih dulu mencuci tangan, itu artinya mengusir para tetamu.

Saya yang enggak ngeh, langsung numplak mengambil semua lauk sekaligus. Mengambil sendok lauk karena tak biasa menggunakan tangan, dan menggeser air kobokan. Jangan harap anda menemukan sendok di acara-acara makan seperti ini, semua orang makan menggunakan tangan.

Sebelum acara bubar kepala suku Jambak Batino kembali menyampaikan kata-kata penutup. Rombongan selawatan pun pulang dibekali serahan berupa bungkusan makanan dan uang ala adarnya.

Puji-pujian itu disampaikan dengan dialek dan langgam Minang. Suatu corak beragama yang otentik. Saya teringat kata-kata seperti ini, suatu nilai, akan mengakar otentik bila bisa menjangkar pada budaya setempat. Jadinya kesadaran beragama tumbuh alamiah, tidak copy-paste dan menelan bulat-bulat semua yang bercita rasa Arab.

Mereka mendudukan agama dan budaya dalam persandingan nilai yang intim. Melahirkan vitalitas sosial dan mempererat kekerabatan. Di tempat-tempat seperti ini, agama tumbuh dengan orientasi sosial yang tinggi. Suatu ijtihad menyeret Islam yang Arab minded menjadi lebih bercorak Indonesiaisme.

Agama yang terlalu dipaksakan pada kungkuhan fiqih dan penjara bid’ah yang rigid, hanya akan merobohkan pilar-pilar sosial. Selama tujuannya adalah pemujaan pada Ilahi, dan menyalawatkan nabi, elaborasi budaya tetap dibutuhkan, agar salawat disampaikan, tetap mengakar dari bumi hingga pijakannya kuat menuju arsy-nya Allah.

Masyarakat Minang kaya dengan khazanah budaya. Social genius semacam ini harus terus terpelihara, agar tak punah digerus modernisme. Citra modernitas berpotensi mengupas satu demi satu identitas budaya, hanya karena ingin menjadi bagian citra masyaraat urban-moderen. Kendati berada di tengah gemuruh modernisme yang westernism, kita berharap, identitas sebagai orang Minang tetap terjaga dengan berbagai caranya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun