Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perektainment

11 Desember 2015   22:42 Diperbarui: 11 Desember 2015   23:02 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah saya bolak balik kamus bahasa Indonesia, tak ketemu arti kata perek. Tapi di beberapa referensi (online) mengartikan “perek artinya wanita tuna susila [WTS], alias pekerja seks komersial [PSK].” Lalu apa istilah untuk artis “merek?”

Tertangkapnya artis NM dan PR membuat saya begitu bersemangat memburu perbendaharaan istilah bisnis cas bodi ini. Tertangkapnya dua pesohor ini, tatkala keduanya hendak menjual daging mentah miliknya pada pembeli. Isu bor tambang Freeport, kalah, tertutupi skandal bisnis bor daging mentah oknum artis.

Tertangkapnya NM dan PR adalah preseden buruk bagi industri entertainment. Selama ini kita risau, berbagai setting-an gossip, perselingkuhan hingga prostitusi oknum seleb, adalah bagian cara mereka mengatrol rating. Konon semakin tinggi rating, semakin tinggi pula nilai jual. Tak perlu didebat apapun cara mengatrol rating itu.

Di dunia industri seni, konsumen dianggap benda mati tanpa logika dan moral. Suatu produk seni akan laris, bila memiliki unsur sensasional dan kontroversial. Masyarakat yang jenuh dengan profanitas, cenderung mencomot atau memilih nilai-nilai hiburan yang unik, sensasional dan kontroversial sebagai pilihan tontonan.

Prostitusi kalangan artis, sedang menjurus pada varian-varian industri seni seperti ini, asal rating terkerek, meskipun cabul dan sejenis. Tak heran bila Ariel NOAH, Luna Maya, Cut Tari begitu cepat dimaafkan masyarakat. Mereka begitu cepat kembali mendapatkan tempat di industri seni karena tuntutan varian-varian industri hiburan tadi.

Saya yakin, pasca skandal panas mereka bertiga, publik tak lagi melihat secara orisinil atas karya seni mereka. Kurang lebih, imajinasi publik tersedot pada faktor lain di balik pesan lagu atau kemampuan berekting. Jadi rasa penasaran penonton pada Ariel, Luna dan Cut Tari, bukan melulu karena karya seninya, tapi rasa penasaran atas peristiwa kontroversial pada waktu lalu. Dugaan saya, ini faktor yang ikut mempengaruhi rating.

Hal serupa juga bisa terjadi pada NM dan PR. Mereka akan kembali mendaptkan tempat di industri entertainment karena faktor market value dengan segala varian yang saya jelaskan di atas. Masyarakat penonton di Indonesia itu sangat permisif terhadap hal-hal yang distorsif, asalkan menghibur. Segmentasi penonton dengan berbagai aliran dan keyakinan, tak begitu berpengaruh terhadap naik-turunnya rating sebuah acara hiburan. Selama masih kontroversial dan nyleneh, rating-nya terus terkerek. Percaya itu !

Bicara soal bisnis daging mentah online di kalangan seleb, saya teringat sebuah joke lucu tentang Program Tiga Batu Tunggu mantan Gubernur NTT Piet A Tallo (alm). Salah satu programnya yang konsen pada sektor usaha dan pengentasan kemiskinan adalah “mulailah dari apa yang kalian miliki”.

Suatu waktu, di salah satu pusat prostitusi terkenal di Kupang bernama KD [Karang Dempel], ada seorang pekerja seks diwawancara wartawan, “kenapa anda memilih profesi WTS?” Jawab WTS : “saya sedang menjalankan program Tiga Batu Tungguku pak Gubernur NTT; yaitu mulailah dari apa yang kalian miliki. Kebetulan yang saya punya ya daging ini, dan saya mulai dari daging ini.”

Di era industri hiburan yang kompetitif, kemampuan menjaga pasar adalah sesuatu yang berat. Selain bodi seksi dan tampan, kejeniusan di bidang seni pun dibutuhkan. Harus ada talenta seni yang mampu megola setiap etape watu. Setiap ruang dan waktu menuntun perubahan selera konsumen penikmat hiburan.

Belum lagi artis-artis pendatang baru saat ini yang tumbuh bak jamur dengan semua potensi yang dimiliki. Dengan kondisi ini, setiap pekerja seni profesional [artis] dituntut eksis. Tidak hanya eksis, tapi menjadi bagian industri seni. Jika tidak, maka akan melenceng dan salah jalan.

Konstruksi sosial yang menuntut gaya hidup serba mewah di kalangan artis, memaksa beberapa dari mereka tanam badan. Semua job diterima. Mereka bisa ada di beberapa stasiun TV. Semuanya dalam rangka kejar setoran. Gaya hidup yang mahal, membuat diri mereka harus "menjadi mesin pencetak uang" dengan segala potensi yang dimiliki.

Lain perkara dengan artis yang hidupnya kadung mewah, namun kemampuan menghasilkan fulus di industri seni mulai menyusut. Perkara inilah yang acap kali menyeret oknum-oknum artis tertentu ke lemba hitam. Menghalalkan segala cara demi gaya hidup mewah, menjual daging mentah sekalipun. []

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun