Di Kabupaten Alor-NTT, khususnya Kecamatan Pantar Barat, kalau musim berburu rusa tiba, selalu ada kebakaran hutan. Cara paling ampuh menggiring rusa liar ke laut, lalu ditangkap warga adalah membakar hutan. Dengan membakar hutan, rusa-rusa itu keluar dari persembunyiannya dan berlari menuju pesisir pantai, lalu warga menangkapnya dengan mudah. peristiwa ini terjadi tiap tahun pasca panen. Itu di Alor-NTT.
Kalau di Riau dan Kalimantan, katanya sampai hari ini belum terlacak apa motif pembakaran hutan. Katanya begitu. Tentu praduga kita menyerempet pada suatu kira-kira, bahwa dua provinsi itu [Riau dan Kalimantan] adalah sentral bisnis perkebunan kelapa sawit milik Pak Ci dan Mak Ci di Malaysia dan tuan-tuan di Singapura. Bisa saja pembakaran hutan itu berkaitan bisnis lahan sawit. Jadi, pembakaran hutan, tak lepas jauh dari urusan perut dan bisnis.
Menurut hasil riset Center for International Forestry Research [CIFOR 2015]; harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp8,6 juta per hektar. Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp11,2 juta per hektar.
Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp40 juta per hektar. Menurut CIFOR, per hektar lahan yang dibakar biayanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 per hektar.
Jadi pembakaran hutan, itu menjadi siklus tahunan pemilik lahan, dalam rangka mengatrol harga lahan sawit. Sirkulasi bisnis macam ini, berputar-putar di lingkaran eksekutif daerah, hingga ke tingkat pusat. Para pemilik kebun sawit ini memiliki mata-rantai politik yang cukup kuat, sehingga regulasi daerah dilumatnya halus-halus; hingga mereka kebal hukum, dan tiap tahun kita mengalami persoalan yang sama dan itu-itu juga; kebakaran dan asap.
Anehnya, dua negara yang menguasai lahan sawit di Indonesia [Malaysia dan Singapura], mencak-mencak dan menyalahkan Indonesia terkait persoalan asap. Anda bayangkan, pengusahanya sudah mengeruk untung berlipat-lipat di Indonesia dengan bisnis sawit; termasuk dengan cara jahat merusak ekologi kita dengan membakar hutan, pemerintahnya pun marah-marah dan menyalahkan Indonesia. Separah harga diri kita sebagai sebuah negara berdaulat?
Politik bakar
Jadi urusannya bukan pembangunan kanal air di sekitar lahan gambut seperti yang disampaikan tuan Presiden Jokowi. Urusannya adalah, mampukah negara hadir dan melawan para kartel sawit itu? Tentu ide Jokowi soal kanal air itu level porsinya Kadis PU Kabupaten. Saya menyayangkan, sebagai pemimpin No 1 di sebuah negara besar, solusi Presiden sangat tekhnis. Mestinya, sebagai presiden, logika dan penerawangan mitigasinya sudah pada level bagiaman politik kebijakan negara untuk menghentikan para penjahat ekologi itu. Bukan mengambil alih tugas Kadis PU.
Presiden seakan tak memahami, bahwa peristiwa tahunan itu bukan sebuah kejahatan bisnis, dengan merusak tatanan ekologi. Berapa banyak rakyat yang korban, akibat infeksi saluran pernapasan dari asap kebakaran hutan itu. Hampir dua bulan sudah krisis kebakaran itu terjadi, namun naga-naganya, tak ada kebijakan tegas merespon krisis kebakaran hutan itu. Dengan hadirnya presiden di tengah hutan itu, sudah berapa pelaku dan otak pembakaran yang ditangkap?
Presiden bahkan dua kali turun ke titik api. Selfi di tengah-tengah kepulan asap bak duta lingkungan; tapi mengapa sampai hari ini tak paham, bahwa pembakaran hutan tahunan itu, terkait politik kebijakan dan politik pencegahan? Selemah itukah negara, ketika berhadapan dengan kartel sawit dari negeri jiran itu?
Dus disaat yang sama, kita bisa mafhum, bahwa berita terkait pembakaran hutan itu, nyaris menenggelamkan kegagapan pemerintah menghadapi krisis ekonomi yang makin parah. Tentu kita deg-degan, bahwa saat ini sudah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja [PHK] besar-besaran. Pengajuan klaim Jaminan Hari Tua [JHT] sudah mencapai Rp.1,6 triliun dari -/+ Rp.8 triliun nilai pengajuan klaim JHT dari Januari-Agustus 2015. Tentu kita patut menduga, bahwa apakah peningkatan klaim JHT itu, berkait dengan PHK massal saat ini?
Persoalan yang masih menganga di hadapan kita adalah, rupiah kini nyaris menyentuh Rp.15.000 per USD. Kita pun kini mengalami episode baru krisis, dari krisis finansial ke krisis sektor riil dan manufaktur. Belum lagi beberapa aksi korporasi BUMN yang menghantarkan Indonesia pada cekikan maut utang luar negeri dengan jaminan beberapa bank BUMN. Bagaimana jika utang-utang itu jatuh tempo dan gagal bayar? Apakah bank-bank BUMN itu jatuh ke tangan asing? Sampai dimana Kabinet Jokowi-JK ini bertahan?
Inilah persoalan-persoalan beberapa bulan lalu yang terekam kuat di memori publik. Tapi singkat kisah, memori publik tentang darurat finansial dan sektor riil di Indonesia ini, musnah dilalap api dan asap. Ada industri pemberitaan yang bermain politik di tengah kabutan asap. Inilah politik bakar, persoalan satu dibakar persoalan lain. Hadehh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H