Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mesin Ketik Tua, di Pojok Kamar Masjid Nuruss’adah-Kupang

29 Maret 2014   21:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_301071" align="aligncenter" width="600" caption="Mesin Ketik Tua, di Pojok Kamar Masjid Nuruss"][/caption]

Sejak semester tiga saya menulis. Hingga kini masih tetap menulis. Diingat-ingat, kenangan menulis terbaik adalah saat-saat malam di kamar pojok belakang masjid raya Nurussa’adah Kupang-NTT.

Setelah solat isa, suasana di sekitar masjid hening. Hanya suara kodok bersahutan dan gesekan daun pisang kering menyatu menjadi harmoni nada-nada malam yang menghibur. Malam-malam seperti itu, ilham menulis membumbung ke atap langit inspirasi.

Tak terasa, kata-kata mengalir alami begitu saja. Kadang setelah menulis satu paragraf, saya membaca ulang dalam perasaan narsis tingkat tinggi. Lucu, geli dan menari-nari dengan tulisan sendiri.

Kadang kesal, karena terlalu banyak huruf “H” diakhir kata setiap tulisan. Dialek bahasa sangat berpengaruh pada kata-kata dalam tulisan saya.

Teman saya yang saleh, Farhan, sering bertanya sedikit kritik, Nir, kenapa selalu ada huruf “H” diakhir kata di setiap tulisan-tulisan mu? Misalnya kata pergi ditulis “pergih”. Kalau dikenang, kadang malu sendiri. Kata Farhan lagi, sudah begitu, tulisanmu terlalu pelit tanda titik (.) dan koma (,).

Tak pelak semua itu berlalu, kenangan mesin ketik tua peninggalan masjid raya Nurussa’adah, benar-benar berarti buat saya. Mesin tik tua itu saya temukan di gudang masjid sebelah kanan toilet dan tempat ambil wudhu masjid Nurussa’adah.

Kondisi mesinnya tua, berkarat. Tombol-tombol hurufnya sudah keras. Pitanya berjamur dan lembab. Abjad-abjad di tombolnya sudah memudar tak karuan.

Selama satu minggu mesin tik tua itu saya bersihkan dengan bensin dan oli kotor. Akhirnya bisa digunakan juga mesin tik tua itu.

Tulisan pertama saya dengan mesin tik usang itu langsung dipublikasi media lokal NTT. Nama medianya NTT Expres. Judulnya “Menggugat Terorisme Global”. Kalau tidak salah, tulisan itu dipublikasi pada tanggal 22 September 2001. Pasca tragedi WTC 11 September 2001. Waktu itu saya dapat honor dari tulisan ini sebesar Rp. 25.000

Tentu uang Rp. 25.000 ini sangat berarti bagi saya dimasa-masa itu. Bisa pake makan 4-5 kali. Itu pun paling makan tempe penyet + nasi dan nasi campur, seharga Rp. 2.500 untuk satu porsi di RM Murah-Fontein. Tapi sebenarnya tak cukup kalau makan bersama teman-teman HMI.

[caption id="attachment_301073" align="aligncenter" width="502" caption="munir.doc"]

13960773381661143392
13960773381661143392
[/caption]

Masjid raya Nurussa’adah itu pusat gerakan aktivis mahasiswa muslim Kota Kupang. Terutama kader-kader HMI. Tentu kalau siang selepas kuliah, banyak teman-teman HMI seangkatan mampir ke kamar. Kami makan seadanya saja beramai-ramai.

Paling apes adalah makan bubur di siang bolong. Makan bubur ini ide bang Arif (Sekum HMI Cabang Kupang). Sesekali kami makan mewah, dan itu cuma ikan bakar. Peristiwa makan mewah itu terjadi, bila ada yang dapat beasiswa dari kampusnya.

Dengan terpublish nya tulisan saya di media cetak lokal itu, semakin membuat saya keranjingan menulis. Malam-malam, suara berisik tik..tok ..tik  dengan mesin tik tua itu selalu memecah kesunyian. Teman saya Nur Yadin sering bergurau, Nir, suara mesin tik kamu seperti suara paruh ayam mematuk jagung di atas papan jemuran.

Suatu waktu Aba Jafar (Imam besar Masjid Nurussa’adah) mampir dan melihat saya pake mesin tik tua itu, kata aba, Nir, mesin tik tua itu sudah aba buang 10 tahun lalu… kok masih bisa digunakan ya? Aba tak tahu, mesin tik tua ini bisa digunakan lagi dengan keringat yang ndress.

Aba Jafar sangat berarti dalam hidup saya. Bila saya menulis dari mana awal mula kualitas hidup dan cara pandang saya bermula, tentu saya harus jujur mengatakan, sejak aba Jafar mengamanahkan saya jadi mu’zin dan marbot di masjid Nurssa’adah-Kupang.

Ceritanya saya rangkap jabatan di masjid. Selain bersih-bersih masjid seluas itu, tugas pokok saya adalah azan setiap solat lima waktu.

Lima tahun mengabdikan diri di rumah suci itu, setiap pagi saya sudah bangun pukul  03.30 atau lebih awal. Selepas solat subuh bersih-bersih masjid. Kalau ada jam kuliah, saya segerah menyiapkan diri ke kampus.

Selepas kuliah, saya harus segerah kembali ke masjid untuk azan zuhur. Bila tak ada kuliah sore, saya lebih sering dikamar, menulis, mengerjakan tugas-tugas kuliah, atau membaca sebentar sambil menunggu waktu ashar.

Selepas solat ashar adalah waktu yang paling sering saya habiskan dengan teman-teman aktivis HMI. Tentu dengan berbagai acara. Dari kajian keislaman, dan diskusi soal isu-isu daerah yang lagi hangat. Kami akan bubar bila menjelang waktu magrib. Heheee..terutama saya, harus azan magrib.

Selepas solat isa, anak-anak HMI itu kembali ke rumah atau kos nya masing-masing. Ada juga yang numpang nginap di kamar saya. Jika tidak, saya kembali meranggut malam-malam dengan tulisan-tulisan. Baik untuk dipublikasikan atau sekedar catatan pribadi saja.

Tulisan kedua saya adalah “Rasionalisme Al quran”. Setelah tulisan ini, tulisan berikutnya di media cetak lokal terus dipublikasikan hingga saat ini. Selepas kuliah dan menetap di Jakarta, tulisan saya, pernah terpublish di harian Koran Tempo judulnya “Wikileaks dan Koloni Kelima”.

Kalau di Detik News hampir setiap minggu tulisan saya muncul di kolom. Saya berhenti menulis di detik, sejak tulisan saya berjudul “Tangan Tuhan di Gunung Salak” oleh pimpinan redaksi detik  jam 12 malam mengabarkan tulisan itu hendak disomasi Cikeas.

[caption id="attachment_301074" align="aligncenter" width="448" caption="Tulisan dengan judul "]

13960774571106832125
13960774571106832125
[/caption]

Tulisan itu akhirnya terpaksa dicabut dari peredaran (silahkan di search). Sebagai orang kampung yang baru merantau ke Jakarta, tentu peristiwa itu membuat saya sedikit kikuk. Sekarang saya belum mencobanya lagi di Detik News, apalagi media online itu sekarang milik CT. Tentu tak seindependen dulu.

Beberapa kali saya juga menulis di Harian nasional Pelita. Pernah juga tulisan saya di Kompasiana muncul di halaman cetak KOMPAS, melalui seleksi Kompasiana Freez. Judulnya “Mak Tua Penjual Gorengan, Anaknya Sekolah di Jerman”.

Beberapa kali Mak Yati muncul di layar kaca (acara Hitam Putih Trans7, TV One dan Kompas tv) karena tulisan saya itu. Kalau harian cetak Jakarta, seperti Pos Kota, Koran Jakarta, tulisan saya pernah menjamahnya.

Hingga hari ini saya masih sesekali menulis di Pos Kupang dan Timor Expres. Masih banyak tulisan yang tidak bisa saya uraikan satu persatu.

Maksud cerita ini bukan untuk menyombongkan diri. Tapi hanya ingin mengenang dan berbagi. Meski saya bukanlah siapa-siapa dan tulisan-tulisan saya belum menjadi apa-apa.

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah, menulis itu seperti sebuah ceriman besar untuk berkaca kepribadian. Menulis juga sebagai instrument untuk menelanjangi kepribadian dan ideologi ke publik (pembaca).

Dengan begitu orang bisa mengkritisi dan merubah cara pandang kita. Obsesi terbesar dalam hidup saya adalah bisa menulis beberapa kali di koran sekelas KOMPAS cetak. Bahkan sekarang, saya merasa menulis itu seperti panggilan. merasa bersalah kalau tidak menulis.

Dulu saya disengat gundah yang dalam, ketika hampir satu minggu tulisan saya tak dimuat-muat koran cetak. Tapi saya tanya paman google, ternyata penulis terkenal Mark Twain atau Samuel Langhorne Clemens pernah mengecap pengalaman pahit serupa.

Penulis terkenal itu selama 100 tahun otobiografinya tak dipublikasikan. Meski tulisan otobiografi itu sudah diselesaikan sebelum dirinya meninggal tahun 1910. Otobiografinya baru diterbitkan Nopember 2010. Ternyata Mark Twain yang mendunia itu lebih parah dari saya. Saya baru pemula. Belum apa-apa dibanding Twain.

Mesin tik tua keramat itu mengantarkan saya berfikir begitu jauh hingga ke Marks Twain segala. Yang berkesan buat saya dimasa-masa itu adalah, kadang saya tertidur dan tersungkur di atas tombol huruf mesin tik. Pagi-pagi, di pipi sebelah wajah saya banyak bekas tombol huruf A, B, C dan seterusnya.

Waktu malam di pojok kamar belakang masjid, adalah tempat bersejarah buat saya. Saya paling suka menulis dan membiarkan pintu kamar terbuka lebar sampai pagi.

Sengaja saya tak menutupnya, dan hanya mengunci pintu gerbang. Dengan pintu terbuka, saya merasa intim dengan suasana malam yang melankolis. Angin malam, suara kodok dan gesekan dedaunan kering, seakan menggerayangi imajinasi.

Harmoni kumpulan suara alam itu semakin memompa imajinasi dari detik ke detik, hingga jarum jam terus bergerak maju menyapa dan mencubit genitnya larut malam. Hingga pada klimaksnya, ide-ide itu terpenetrasi kuat, berhamburan begitu saja hingga mencapai puncak enigma cinta.

Owhhhaa..cinta akan kata-kata yang berbalut makna, substansi dan pesan spiritual. Kata-kata itu mendekap ide, gagasan dan kumpulan ideologi-ideologi kecil, yang terus bergerak mencari konteks dan kondisi sosial saat itu. Saat dimana mesin tik tua di pojok masjid Nurussa’adah memekik hening. Salam. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun