Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inspiratif, Bibiku Profil Pekerja Ulet di Kampung (Baranusa)

4 September 2014   23:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:36 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merasakan dua nikmat sekaligus, pertama : karena itu buatan tangan bibi sendiri, dan kedua, bumbunya yang berani dan menusuk hidung. Sulit merasakan sensasi yang enigmatik itu di lain tempat, selain kaleso bibi.

Keringat dan peluh bibi ini berbuah manis, beberapa anaknya bisa kuliah hingga perguruan tinggi. Bukan main-main, kuliahnya hingga ke Bandung Jawa Barat. Saya cuma kuliah di Kupang, lalau rantau ke Jakarta.

Inilah mimpi seorang ibu, yang ada di pelosok desa NTT. Peluh dan tenaganya, menembus ganasnya selat Ombai dan selat Bali, demi mewujudkan mimpi anaknya bersekolah di bumi Pariyangan.

Bibi adalah profil ibu-ibu ulet di kampung kami. Mereka mengilhami kesadaran masyarakat, bahwa betapa pentingnya menyekolahkan anak, meski harus bercucur peluh sebagai apapun.

Keuletan bibi, adalah kesadaran menembus zona mainstream, kesadaran yang mahal, dan lahir ketika di kampung masyarakat secara komunal, menganggap, tak perlu bersekolah tinggi, bila sudah bisa bercocok tanam dan menembak seekor "ikan kabakku" di laut Baranusa.

Kalau dua soal hidup ini (bercocok tanam dan tangkap ikan) bisa dijawab, maka disegerahkan berumah tangga dan beranak pinak untuk membesarkan nama suku dan keturunan. Maka tak heran, di kampung kami, banyak anak usia sekolah yang sudah berumah tangga dengan family size yang besar, tapi defisit kesejahteraan.

Disinilai model keluarga horizontal terbentuk masif. Efek jangka panjangnya, pertumbuhan SDM menjadi rendah, dan hanya bisa menghasilkan tenaga buruh kasar dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kemudian hari.

Profil ibu-ibu di desa yang ulet seperti bibi, adalah sebuah revolusi kesadaran, bahwa untuk maju, tak perlu pasrah dan menyandarkan nasib pada suatu titik zona tak tertolong. Pasrah pada takdir !

Keuletan bibi adalah sebuah revolusi kesadaran aktif, untuk tidak melulu melahirkan nasib keluarga yang horizontal, dengan nasib dan masa depan yang sama persis. Paling tidak, saya menangkap pesan (message) di balik keuletan bibi, bahwa kelak kalau bibi hanya seorang penjual kaleso, anaknya bisa jadi guru, dosen, pejabat daerah bahkan mentri. Maka terjawablah, kenapa bibi keukeuh menyekolahkan anaknya dengan berpeluh keringat menjual kaleso sepanjang hari. Bibiku idolaku []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun