Merasakan dua nikmat sekaligus, pertama : karena itu buatan tangan bibi sendiri, dan kedua, bumbunya yang berani dan menusuk hidung. Sulit merasakan sensasi yang enigmatik itu di lain tempat, selain kaleso bibi.
Keringat dan peluh bibi ini berbuah manis, beberapa anaknya bisa kuliah hingga perguruan tinggi. Bukan main-main, kuliahnya hingga ke Bandung Jawa Barat. Saya cuma kuliah di Kupang, lalau rantau ke Jakarta.
Inilah mimpi seorang ibu, yang ada di pelosok desa NTT. Peluh dan tenaganya, menembus ganasnya selat Ombai dan selat Bali, demi mewujudkan mimpi anaknya bersekolah di bumi Pariyangan.
Bibi adalah profil ibu-ibu ulet di kampung kami. Mereka mengilhami kesadaran masyarakat, bahwa betapa pentingnya menyekolahkan anak, meski harus bercucur peluh sebagai apapun.
Keuletan bibi, adalah kesadaran menembus zona mainstream, kesadaran yang mahal, dan lahir ketika di kampung masyarakat secara komunal, menganggap, tak perlu bersekolah tinggi, bila sudah bisa bercocok tanam dan menembak seekor "ikan kabakku" di laut Baranusa.
Kalau dua soal hidup ini (bercocok tanam dan tangkap ikan) bisa dijawab, maka disegerahkan berumah tangga dan beranak pinak untuk membesarkan nama suku dan keturunan. Maka tak heran, di kampung kami, banyak anak usia sekolah yang sudah berumah tangga dengan family size yang besar, tapi defisit kesejahteraan.
Disinilai model keluarga horizontal terbentuk masif. Efek jangka panjangnya, pertumbuhan SDM menjadi rendah, dan hanya bisa menghasilkan tenaga buruh kasar dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kemudian hari.
Profil ibu-ibu di desa yang ulet seperti bibi, adalah sebuah revolusi kesadaran, bahwa untuk maju, tak perlu pasrah dan menyandarkan nasib pada suatu titik zona tak tertolong. Pasrah pada takdir !
Keuletan bibi adalah sebuah revolusi kesadaran aktif, untuk tidak melulu melahirkan nasib keluarga yang horizontal, dengan nasib dan masa depan yang sama persis. Paling tidak, saya menangkap pesan (message) di balik keuletan bibi, bahwa kelak kalau bibi hanya seorang penjual kaleso, anaknya bisa jadi guru, dosen, pejabat daerah bahkan mentri. Maka terjawablah, kenapa bibi keukeuh menyekolahkan anaknya dengan berpeluh keringat menjual kaleso sepanjang hari. Bibiku idolaku []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H