Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekstremnya Budaya Sumpah Adat (Bella) Masyarakat Alor-NTT

3 September 2014   02:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:47 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_322037" align="aligncenter" width="504" caption="Pulau Marica (Kangge) Pantar Kab Alor-NTT (munir.doc)"][/caption]

Siapa yang tak geram, harus berdiri dan menyaksikan ternak, dan hasil cocok tanamnya diambil tanpa izin oleh penduduk desa seberang. Warga yang diambil barangnya, tak boleh bersuara, hanya diam menyaksikan. Bila penduduk yang dijarah melakukan aksi perlawanan, maka kelak dipercaya, desa yang dijarah akan mendapat malapetaka. Tapi itulah kearifan lokal; dengan segala nilai kepercayaan yang diyakini. Mereka tunduk terhadap nilai-nilai yang mengikat sejak nenek moyang.

Di pulau Pantar kabupaten Alor, provinsi NTT, tepatnya di desa Kayang dan desa Tude, memiliki hubungan adat yang mengagumkan. Kedua desa ini, terikat sumpah adat leluhur yang disebut bella, yang terjalin beberapa abad silam hingga kini.

[caption id="attachment_322038" align="aligncenter" width="403" caption="Desa Tude yang terletak di lembah gunung Sirung Pantar Kab Alor NTT (munir.doc)"]

1409662600431888796
1409662600431888796
[/caption]

Ikatan bella, menyebabkan kedua desa ini tak boleh bermusuhan dalam bentuk apapun, hingga tuju turunan. Bella dipahami dan dipercaya sebagai sumpah adat dengan saling minum darah dari kedua bela pihak (desa Tude danKayang) beberap abad silam oleh para leluhur, setelah terlibat permusuhan berlarut-larut. Konsekuensi dari melanggar bella adalah terjadinya musibah dan malapetaka di desa yang dianggap bersalah, hingga kedua belah pihak saling berdamai.

Implikasi sosial dari ikatan bella, kedua desa ini (desa Kayang dan Tude) tak pernah terlibat konflik dalam bentuk apapun. Bahkan ekstremnya, sumpah bella melahirkan suatu kesepakatan adat, bahwa segala apa yang dimiliki penduduk desa Tude, adalah juga miliki penduduk desa Kayang, demikian pun sebaliknya. Sebuah ikatan dan pola relasi tradisional yang cukup esktrem tapi kaya nilai.

Penduduk desa Tude bila berkunjung ke desa Kayang, mereka bisa dengan leluasa mengambil apapun harta benda milik penduduk desa Kayang. Dan warga desa Kayang sesuai hukum adat, tak boleh melakukan aksi perlawanan dalam bentuk apapun.

Demikianpun sebaliknya bila penduduk desa Kayang ke desa Tude. Kearifan sosial yang cukup langkah dan ekstrem ini, sudah berlangsung berabad-abad lamanya di kedua desa tersebut.

Secara demografi, penduduk desa Tude 100% mayoritas beragama Kristen, dan desa Kayang 100% penduduknya beragama Islam. Namun hubungan kekerabatan yang terikat dalam kredo adat bella telah mengikat kedua penduduk desa ini dalam pertautan sosial yang kuat dan sakral. Tak ada konflik tak ada sekat-sekat sosial. Demarkasi keyakinan (teologis), seakan tenggelam dan sebatas menjadi ritus-ritus privat. Nilai-nilai kearfianlah yang diyakini, menjadi kitab perdamaian bagi penduduk lokal di kedua desa tersebut.

Ini sebuah paradigma sosial yang unik, ketika masyarakat modern susah payah mencari instrument perekat sosial di tengah-tengah konflik sekterianisme pelik, justru disatu sudut sosial tak tersentuhkan, nilai-nilai perdamaian terhampar luas, dan telah tertanam sebagai sebuah kredo sosial absolut berabad-abad silam.

Setelah mengenang kembali nilai-nilai kearifan desa Tude dan Kayang Kabupaten Alor-NTT, saya berkeyakinan, kecerdasan sosial tak melulu tumbuh karena seseorang mampu memoderasikan nilai dan dirinya dengan kemasan saintisme sosial yang serba western, tapi justru sebaliknya, social wisdom, akan tumbuh secara otentik, bila seseorang semakin dalam tercelup dalam nilai-nilai kaarifan sosial orisinil yang terpendam.

Misalnya, untuk menyandakan masyarakat pada nilai-nilai toleran serta menghindari konflik dan perpecahan, penggalian dan objektifikasi nilai-nilai kearifan lokal, menjadi solusi penyadaran. Sebab di titik inilah kasadaran masyarakat kembali, karena disini (local wisdom) lah menjadi satu-satunya basis kesadaran otentik.

Berbagai konflik sosial dengan segala variannya yang akhir-akhir ini tumbuh dan tak terpecahkan, disebabkan rendahnya proses mitigasi sosial dengan nilai-nilai kearfian lokal. Selama ini, penyadaran integrasi sosial selalu dilakukan dengan cara meng-alienasikan masyarakat jauh dari basis nilai otentiknya. Akibatnya, konstruski sosial menjadi demikian getas dan mudah roboh karena tak memiliki urat dan akar sosiologis.

Tradisi bella masyarakat desa Tude dan Kayang di Alor-NTT, menjadi suatu contoh basis knowledge yang patut diselami. Dalam rangka memperkuat tatanan sosial kemasyarakat dalam wujud bangun integrasi sosial, sekaligus meggali mozaik kedaerahan yang selama ini cenderung dianggap kuno dan terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun